Beranda Materi Tarbiyah Surat An-Nas: Bisikan Jahat Jin dan Manusia

Surat An-Nas: Bisikan Jahat Jin dan Manusia

0
Surat An Nas bisikan jahat jin dan manusia

Surat An-Nas adalah surat ke-114 dalam Al-Qur’an. Tema utama surat ini adalah memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dari apa pun yang merusak agama, terutama bisikan jahat jin dan manusia.

Surat An-Nas terdiri dari 6 ayat dan termasuk makkiyah. Dinamakan An Nas yang berarti manusia karena kata ini sering diulang dalam banyak ayat sejak ayat pertama. Nama lainnya adalah Qul a’udzu birabbin nas dan al muawwidzah tsaniyah.

Surat An-Nas dan Artinya

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ (۱) مَلِكِ النَّاسِ (٢) إِلَهِ النَّاسِ (٣) مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ (٤) الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ (٥) مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ (٦)

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia. Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari (golongan) jin dan manusia. (QS. An-Nas: 1-6)

Asbabun Nuzul

Surat ini turun bersama surat Al Falaq. Keduanya disebut al-mu’awwidzatain. Yakni dua surat yang menuntun pembacanya menuju tempat perlindungan. Surat Al-Falaq merupakan al-mu’awwidzah al-‘ula. Sedangkan Surat An-Nas merupakan al-mu’awwidzah ats-tsaaniyah.

Menurut pendapat Hasan, Atha’, Ikrimah dan Jabir, Surat An-Nas adalah surat makkiyah. Ini merupakan pendapat mayoritas. Namun ada juga yang berpendapat Surat An-Nas adalah madaniyah berdasarkan riwayat Ibnu Abbas dan Qatadah.

Kafir Quraisy Makkah berupaya mencederai Rasulullah dengan ‘ain. Yakni pandangan mata yang merusak atau membinasakan. Lalu Allah menurunkan dan mengajarkan Surat Al-Falaq dan Surat An-Nas ini kepada Rasulullah untuk menangkalnya. Asbabun nuzul ini menjadi dasar argumentasi bahwa surat ini makkiyah.

Sedangkan asbabun nuzul yang menjadi dasar pendapat ayat ini Madaniyah, surat ini diturunkan Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika seorang Yahudi Madinah bernama Lubaid bin A’sham menyihir beliau.

Lubaid bin A’sham menyihir Rasulullah dengan media pelepah kurma berisi rambut beliau yang rontok ketika bersisir, beberapa gigi sisir beliau, serta benang yang terdapat 11 ikatan yang ditusuk jarum. Lalu Allah menurunkan Surat Al-Falaq dan An-Nas.

Setiap satu ayat dibacakan, terlepaslah satu ikatan hingga Rasulullah merasa lebih ringan. Ketika seluruh ayat telah dibacakan, terlepaslah seluruh ikatan tersebut.

Tafsir Surat An-Nas

Tafsir Surat An-Nas ini kami sarikan dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Fi Zhilalil Quran, Tafsir Al-Azhar, Tafsir Al-Munir, dan Tafsir Al-Mishbah. Juga beberapa maraji’ lain seperti Awwal Marrah At-Taddbur Al-Qur’an karya Syekh Adil Muhammad Khalil dan Khawatir Al-Qur’aniyah karya Syekh Amru Khalid.

Surat An-Nas ayat 1

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

Katakanlah: “Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.

Kata qul (قل) yang berarti “katakanlah” membuktikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan segala sesuatu yang beliau terima dari ayat-ayat Al-Quran yang Allah sampaikan melalui malaikat Jibril. Seandainya ada sesuatu yang beliau sembunyikan, demikian Tafsir Al-Mishbah, yang paling wajar adalah menghilangkan kata qul ini.

Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menerangkan, qul (قل) “katakanlah wahai utusan-Ku dan ajarkanlah juga kepada mereka.”

Kata a’uudzu (أعوذ) terambil dari kata ‘audz (عوذ) yakni menuju kepada sesuatu untuk menghindar dari sesuatu yang ditakuti.

Rabb (رب) mengandung makna kepemilikan dan kepemeliharaan serta pendidikan yang melahirkan pembelaan serta kasih sayang. Dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Ar Rabb adalah Tuhan yang memelihara, Yang mengarahkan, Yang menjaga, dan Yang melindungi.

Sedangkan an-nas (الناس) berarti kelompok manusia. Berasal dari kata an-naws (النوس) yang berarti gerak. Ada juga yang berpendapat dari kata unaas (أناس) yang berarti tampak. Kata an-nas terulang sebanyak 241 dalam Al-Qur’an. Kadang Al-Qur’an menggunakan kata ini dalam arti jenis manusia seperti Surat Al-Hujurat ayat 13 atau sekelompok tertentu dari manusia seperti Surat Ali Imran ayat 173.

Surat An-Nas ayat 2

مَلِكِ النَّاسِ

Raja manusia

Kata Malik (ملك) artinya raja, biasanya digunakan untuk penguasa yang mengurus manusia. Berbeda dengan Maalik (مالك) yang artinya pemilik, biasanya digunakan untuk menggambarkan kekuasaan si pemilik terhadap sesuatu yang tidak bernyawa. Maka wajar jika ayat kedua ini tidak dibaca maalik dengan memanjangkan huruf mim sebagaimana dalam Surat Al-Fatihah. Demikian penjelasan Tafsir Al-Mishbah.

Sayyid Qutb menjelaskan dalam Fi Zhilalil Qur’an, Al-Malik adalah Tuhan Yang berkuasa, Yang menentukan keputusan, Yang mengambil tindakan.

Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, Malik (ملك) berarti penguasa atau raja, pemerintah tertinggi atau sultan. Sedangkan jika mimnya dipanjangkan menjadi Maalik (مالك) artinya adalah yang memiliki.

Surat An-Nas ayat 3

إِلَهِ النَّاسِ

Sembahan manusia

Kata ilah (إله) berasal dari kata alihaya’lahu (أله – يأله) yang berarti menuju dan bermohon. Disebut ilah karena seluruh makhluk menuju serta bermohon kepada-Nya dalam memenuhi kebutuhan mereka. Pendapat lain mengatakan kata tersebut awalnya berarti menyembah atau mengabdi sehingga ilah adalah Dzat yang disembah dan kepada-Nya tertuju segala pengabdian.

Sayyid Qutb menjelaskan, al-ilah adalah Tuhan yang Maha Tinggi, Yang mengungguli, Yang mengurusi, Yang berkuasa. Sifat-sifat ini mengandung perlindungan dari kejahatan yang masuk ke dalam dada, sedang yang bersangkutan tidak mengetahui bagaimana cara menolaknya karena ia tersembunyi.

Ketika menafsirkan Surat An-Nas ayat 1 sampai 3 ini, Ibnu Katsir menjelaskan: “Ketiga ayat yang pertama merupakan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu sifat rububiyah, sifat mulkiyah, dan sifat uluhiyah. Dia adalah Tuhan segala sesuatu, Yang memilikinya dan Yang disembah oleh semuanya. Maka segala sesuatu adalah makhluk yang Ia ciptakan, segala sesuatu adalah milik-Nya serta menjadi hamba-Nya.”

Surat ini menuntun orang yang memohon perlindungan agar menyebutkan sifat-sifat tersebut dalam permohonannya agar Allah menghindarkannya dari godaan yang tersembunyi, yaitu setan yang selalu mendampingi (qarin) manusia. Demikian pula bisikan jahat jin dan manusia.

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan dalam Tafsir Al-Munir, “Karena sifat kasih Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada kita, Allah mengajari kita tentang tata cara untuk berlindung dari setan manusia dan jin. Dia memberitahu kita tentang tiga sifat-Nya; rububiyah, mulkiyah, dan uluhiyah. Dengan sifat-sifat-Nya tersebut, Allah akan menjaga hamba yang meminta perlindungan dari kejahatan setan-setan dalam agama, dunia, dan akhirat.”

Surat An-Nas ayat 4

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Dari kejahatan (bisikan) setan yang biasa bersembunyi

Kata syar (شر) pada mulanya berarti buruk atau mudharat. Lawan dari khair (خير) yang berarti baik. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menjelaskan, syar mencakup dua hal yaitu sakit (pedih) dan yang mengantar kepada sakit (pedih). Penyakit, kebakaran, tenggelam adalah sakit. Sedangkan kekufuran, maksiat dan sebagainya mengantar kepada sakit atau kepedihan siksa Ilahi.

Kata al-waswas (الوسواس) awalnya berarti suara yang sangat halus. Makna ini kemudian berkembang menjadi bisikan-bisikan, biasanya adalah bisikan negatif. Karenanya sebagian ulama memahami kata ini dalam arti setan. Karena setan sering membisikkan rayuan dan jebakan dalam hati manusia.

Sedangkan kata al-khannas (الخناس) berasal dari kata khanasa (خنس) yang artinya kembali, mundur, bersembunyi. Patron kata yang ayat ini pakai mengandung makna sering kali atau banyak sekali. Dengan demikian ia bermakna, setan sering kali kembali menggoda manusia pada saat ia lengah dan melupakan Allah. Sebaliknya, setan sering kali mundur dan bersembunyi saat manusia berdzikir dan mengingat Allah.

Ibnu Abbas menjelaskan, “Setan bercokol dalam di atas hati anak Adam. Apabila ia lupa dan lalai kepada Allah, setan menggodanya. Apabila ia ingat kepada Allah, maka setan bersembunyi.”

Surat An-Nas ayat 5

الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ

yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia

Kata shudur (صدور) artinya adalah dada, maksudnya adalah tempat hati manusia. Maka ketika menjelaskan ayat ini, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan: “Yang menebarkan pikiran-pikiran buruk dan jahat di dalam hati. Dalam ayat tersebut disebutkan kata ash-shudur karena dada adalah tempat hati. Pikiran-pikiran itu tempatnya di hati, sebagaimana dikenal dalam dialektika orang-orang Arab.”

Apakah ayat ini menyangkut bani Adam saja sebagaimana lahiriah ayat atau termasuk jin juga? Ibnu Katsir mengutip pendapat bahwa jin pun termasuk dalam pengertian an-nas ini.

Surat An-Nas ayat 6

مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ

dari (golongan) jin dan manusia

Kata min (من) dalam ayat ini bermakna sebagian. Karena memang sebagian manusia dan jin melakukan bisikan-bisikan negatif, tidak semuanya. Allah mengabadikan ucapan jin dalam Surat Al Jinn ayat 11:

وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا

Dan sesungguhnya di antara kami ada yang shalih-shalih dan ada juga di antara kami yang tidak demikian halnya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda. (QS. Al Jin: 11)

Ada pula yang berpendapat min di ayat ini berfungsi menjelaskan sehingga artinya adalah yaitu.

Kata al-jinnah (الجنة) adalah bentuk jamak dari jinny (الجني) dengan ta’ marbuthah untuk menunjukkan bentuk jamak muannats. Kata jinn berasal dari akar kata janana (جنن) yang berarti tertutup atau tidak terlihat. Anak yang masih dalam kandungan disebut janin karena ia tidak terlihat. Surga dan hutan yang lebat disebut jannah karena mata tidak dapat menembusnya. Dinamai jin karena ia makhluk halus yang tidak terlihat.

Seluruh makhluk yang menggoda dan mengajak kepada kemaksiatan disebut setan, baik dari jenis jin maupun manusia. Setan jin tersembunyi tapi setan manusia tampak.

Abu Dzar Al-Ghifari pernah ditanya seseorang, “apakah ada setan manusia?” Ia pun menjawab ada lalu membaca firmanNya:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Dan demikian itu, Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk memperdaya. (QS. Al-An’am: 112)

Ibnu Katsir menjelaskan, Surat An-Nas ayat 6 merupakan tafsir dari Surat An-Nas ayat 5. Sebagaimana pengertian setan dalam Surat Al-An’am ayat 112 tersebut.

Sayyid Qutb menjelaskan, bisikan jin tidak dapat diketahui bagaimana terjadinya. Namun dapat dijumpai bekas-bekas pengaruhnya dalam realitas jiwa dan kehidupan.

“Adapun mengenai manusia, kita mengetahui banyak tentang bisikan mereka,” lanjutnya dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an. “Kita mengetahui pula bahwa di antara bisikannya itu ada yang lebih berat daripada bisikan setan jin.”

Beliau kemudian mencontohkan teman yang membisikkan kejahatan kepada temannya. Ajudan atau penasihat yang membisikkan kepada penguasa. Provokator yang memprovokasi dengan kata-katanya. Penjaja syahwat yang menghembuskan bisikan melalui insting. Dan bermacam pembisik lain yang menggodan dan menjerumuskan sesama manusia.

Baca juga: Bahaya Ghibah dan Namimah

Penutup

Untuk menangkal bisikan jahat jin dan manusia, kita harus memohon perlindungan kepada Allah. Surat An-Nas ini mengajarkan demikian. Membaca Surat An-Nas adalah bagian dari upaya perlindungan diri dari semua bisikan setan, baik golongan jin dan manusia. Namun tidak hanya membacanya.

“Dan sesungguhnya engkau berlindung kepada Allah dari perdayaan setan itu ialah dengan meninggalkan apa yang setan sukai. Bukan semata-mata hanya berlindung dengan ucapan lisan,” tegas Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

Demikian Surat An-Nas dan tafsirnya, semoga menambah ilmu dan meningkatkan iman kita. Semoga Allah mudahkan kita semua mengamalkannya sehingga terlindungi dari bisikan jahat jin dan manusia. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/BersamaDakwah]