Beranda Materi Tarbiyah 8 Makna La Ilaha Illallah

8 Makna La Ilaha Illallah

0
8 makna la ilaha illallah

Mengapa para sahabat mengalami perubahan hebat begitu bersyahadat? Mengapa jazirah Arab yang tadinya kering kerontang tak diperhitungkan berubah menjadi imperium besar yang dipenuhi tokoh-tokoh gemilang hanya dalam waktu dua dekade setelah para penduduknya bersyahadat? Sebab mereka memahami isi syahadat, khususnya makna la ilaha illallah. Syahadat tauhid yang mereka ikrarkan.

Sebaliknya, tokoh Quraisy yang menolak bersyahadat juga karena mereka memahami makna dan konsekuensi  la ilaha illallah. Bagi Abu Jahal dan kawan-kawannya, la ilaha illallah bukan hanya bertolak belakang dengan penyembahan mereka kepada berhala tetapi juga akan mendatangkan permusuhan dari para penguasa.

Awalnya, Abu Jahal sangat antusias saat mendengar Rasulullah mau menyampaikan kalimat yang dengannya tercapai kebaikan dunia dan akhirat. Sebuah kalimat yang dengannya mereka bisa memimpin jazirah Arab.

“Jangankan satu kalimat, sepuluh kalimat pun kami mau. Kalimat apa itu?” kata Abu Jahal.

“Ucapkanlah laa ilaha illa Allah dan Muhammad Rasulullah.”

Mendengar jawaban Rasulullah tersebut, Abu Jahal berbalik. “Kalau itu yang engkau minta, berarti engkau mengumandangkan peperangan dengan semua orang Arab dan bukan Arab.”

Kita yang sehari semalam minimal mengucapkan syahadat sembilan kali, semestinya juga mengalami perubahan besar sebagaimana para sahabat. Menjadi pemberani dan merasakan kebahagiaan sejati. Menjadi pribadi yang lebih tenang dan optimis menghadapi masa depan. Memiliki akhlak yang mulia dan senantiasa ingin berbagi manfaat untuk sesama. Dalam ranah profesi, kita pun menjadi pribadi yang memiliki etos kerja tinggi, disiplin, dan profesional.

1. Tiada Pencipta Kecuali Allah

Makna pertama dan paling mendasar dari laa ilaaha illallah adalah laa khaaliqa illallah (لا خالق الا الله). Tiada pencipta kecuali Allah.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ ثُمَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ يَعْدِلُونَ

Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan menjadikan gelap dan terang, namun demikian orang-orang kafir masih mempersekutukan Tuhan mereka dengan sesuatu. (QS. Al-An’am: 1)

Keyakinan bahwa Allah adalah Pencipta alam semesta membawa konsekuensi bahwa Dialah yang Kuasa memelihara dan mengatur alam semesta ini. Dia pula yang berhak diibadahi. Namun, Surah Al-An’am ayat 1 menunjukkan paradoks orang-orang kafir yang masih saja mempersekutukan Allah. Karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa orang-orang kafir Quraisy itu memiliki tauhid rububiyah karena mengakui Allah adalah Pencipta, tetapi mereka tidak memiliki tauhid uluhiyah karena menyembah berhala.

Ada pula golongan yang bahkan tidak mengakui adanya Khaliq (pencipta). Mereka adalah orang-orang mulhid (ateis). Pernah terjadi di masa Imam Ahmad, tokoh ateis menantang debat beliau apakah alam ini diciptakan Allah atau ada dengan sendirinya. Meskipun Imam Ahmad menyampaikan hujjah yang kuat, tokoh ateis tersebut terus mendebat. Hingga sore, debat tak kunjung selesai. Maka, disepakatilah pertemuan berikutnya.

Pada hari-H, lebih banyak lagi orang-orang yang menghadiri debat. Mereka ingin tahu siapa yang akan menang dengan argumen yang lebih kuat. Tokoh ateis juga telah hadir di tempat. Sementara Imam Ahmad justru terlambat. “Mana Imam kalian yang katanya ulama teladan? Menghadiri jadwal debat saja terlambat!”

Tak lama kemudian, Imam Ahmad tiba. “Maaf, saya terlambat. Untuk sampai ke sini, saya harus menyeberangi sungai. Namun, tak ada perahu penyeberangan. Saya tertahan di tepi sungai hingga tiba-tiba datanglah angin kencang yang menumbangkan sebuah pohon. Lalu datang angin berikutnya yang mampu memotong-motong pohon itu menjadi beberapa batang. Angin berikutnya menggerakkan batang-batang itu dan menyusunnya menjadi sebuah perahu. Semua terjadi begitu saja, sebuah kebetulan yang luar biasa. Saya pun bisa menyeberangi sungai dengan perahu tersebut dan akhirnya bisa sampai di sini meskipun tidak tepat waktu.”

Tokoh ateis tersebut tertawa terpingkal-pingkal. “Wahai Ahmad, siapa yang akan percaya dengan omonganmu. Tidak mungkin perahu tercipta secara kebetulan begitu saja. Apalagi hanya dengan angin yang bisa memotong dan menyusunnya.”

“Jika perahu saja tidak mungkin tercipta secara kebetulan, bagaimana dengan alam semesta yang jauh lebih rumit dan lebih sempurna?” Jawaban Imam Ahmad ini membuat tokoh ateis tersebut terdiam. Tidak menyangka Imam Ahmad telah membalik logikanya. Para penonton manggut-manggut, mereka telah mendapatkan kesimpulan dari debat tersebut.

2. Tiada Pemberi Rezeki Kecuali Allah

Allah yang Menciptakan alam semesta ini beserta seluruh makhluk di dalamnya. Maka, Dia pula yang memberikan rezeki kepada makhluk-Nya.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu makhluk melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh).” (QS. Hud: 6)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menuliskan: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan bahwa Dialah yang menjamin rezeki makhluk-Nya, termasuk semua hewan yang melata di bumi. Baik yang kecil, yang besar, yang ada di daratan, maupun yang ada di lautan.”

Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan bagaimana kita bersikap berdasarkan ayat ini. “Ayat ini menjelaskan bahwa yang melata di atas bumi tidak usah khawatir akan kekurangan rezeki sebab Allah sudah menyediakannya. Kalimat daabbatin kita artikan yang melata, yaitu segala yang berjalan, merangkak, merayap, maupun menjalar. Manusia pun termasuk di dalamnya…”

Mengetahui makna laa ilaaha illallah salah satunya adalah laa raaziqa illallah (لا رازق الا الله) membuat kita lebih tenang sekaligus optimis dalam hidup ini, khususnya soal rezeki. Sebab Allah-lah yang Maha Memberi rezeki. Cicak yang merayap saja mendapatkan cukup rezeki meskipun makanannya bisa terbang. Apalagi manusia.

Maka, pastikan bahwa kita hanya menempuh jalan yang halal dalam mencari rezeki. Jangan sampai mengambil jalan yang haram seperti menipu atau korupsi. Apalagi jika sampai membatalkan syahadat kita dengan berbuat syirik melalui perdukunan dan sejenisnya.

3. Tiada Pemilik dan Penguasa Kecuali Allah

Makna berikutnya dari laa ilaaha illallah adalah laa maalika illallah (لا مالك الا الله). Tiada pemilik dan penguasa alam semesta kecuali Allah.

وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Ali Imran: 189)

Dalam Al-Qur’an, kita mendapati Malik (ملك) dengan mim pendek dan Maalik (مالك) dengan mim panjang. Yang pertama misalnya dalam Surah An-Nas. Yang kedua misalnya dalam Surah Al-Fatihah. Menurut Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, Malik (ملك) berarti penguasa atau raja, pemerintah tertinggi atau sultan. Sedangkan jika mimnya dipanjangkan menjadi Maalik (مالك) artinya adalah yang memiliki.

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menjelaskan, kata Malik (ملك) artinya raja, biasanya digunakan untuk penguasa yang mengurus manusia. Berbeda dengan Maalik (مالك) yang artinya pemilik, biasanya digunakan untuk menggambarkan kekuasaan si pemilik terhadap sesuatu yang tidak bernyawa.

Makna ini membawa konsekuensi bahwa Allah-lah pemilik dan penguasa sejati diri kita. Bahkan, Allah-lah pemilik seluruh apa yang kita sebut sebagai kepemilikan kita. Sehingga kita tunduk kepada-Nya dan meyakini bahwa semua yang ada pada kita adalah titipan-Nya. Keyakinan ini akan membuat kita tidak mudah depresi saat kehilangan sesuatu karena pada hakikatnya ia bukan milik kita. Mulai dari harta, bahkan orang yang kita cintai.

Betapa luar biasa Ummu Sulaim yang kehilangan putranya saat sang suami bepergian. Ketika Abu Thalhah pulang, ia sambut dengan senyuman, ia hidangkan makan malam, lalu keduanya berhubungan. Ummu Sulaim sama sekali tidak bicara tentang kematian putra mereka.

Usai berhubungan, Ummu Sulaim baru bicara. “Suamiku, seandainya ada seseorang yang meminjamkan sesuatu lalu beberapa waktu kemudian ia mengambilnya kembali, apakah engkau akan menolaknya?”

“Tentu, tidak.”
“Kalau begitu, bersabarlah. Putra kita telah meninggal dunia.”
Mendengar itu, Abu Thalhah marah. “Kenapa kamu tidak memberitahu sejak kedatanganku?”

Paginya, Abu Thalhah mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah justru bangga dengan kesabaran Ummu Sulaim. “Allah memberkahi apa yang kalian lakukan kemarin malam.”

Ummu Sulaim kemudian hamil. Setelah lahir, bayinya diberi nama Abdullah. Abdullah bin Abu Thalhah ini kemudian memiliki sembilan orang anak dan semuanya hafal Al-Qur’an.

4. Tiada Pemberi Manfaat dan Madharat Kecuali Allah

Laa ilaaha illallah juga bermakna laa naafi’a walaa dharra illallah (لا نافع ولا ضار الا الله). Tiada Pemberi manfaat dan madharat kecuali Allah.

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يَمْسَسْكَ بِخَيْرٍ فَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, tidak ada yang dapat menghilangkannya selain Dia. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-An’am: 17)

Apa yang Allah tetapkan, baik itu berupa kemudharatan atau kemanfaatan, bencana atau kebaikan, tidak ada seorang pun yang bisa menolaknya. Sebaliknya, tiada makhluk yang bisa menimpakan kemanfaatan atau kemadharatan kepada kita.

Keyakinan ini akan membuat kita tenang dan tidak takut kepada siapapun kecuali Allah. Buat apa kita takut pada manusia atau jin jika ternyata mereka tidak mampu menimpakan apa pun kepada kita kecuali apa yang Allah tetapkan atas kita. Keyakinan ini seharusnya membuat kita semakin mendekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena Dialah yang menetukan segala hal atas diri kita.

“Entah engkau ditimpa suatu kemalangan, sakit, kepayahan, kemiskinan, duka cita, kematian, fitnah, dan lain-lain yang pasti terjadi dalam pergolakan hidup ini, tidak ada yang dapat melepaskan engkau dari bahaya itu melainkan Allah saja. Tidak ada yang lain tempat mengadu …,” tulis Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar.

5. Tiada Yang Menghidupkan dan Mematikan Kecuali Allah

Allah yang menciptakan manusia dan alam semesta, Dia pula yang menghidupkan dan mematikan. Selain Allah, tidak ada yang bisa menghidupkan dan mematikan.

وَاللَّهُ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Ali Imran: 156)

Keyakinan la muhya wa mumiita illallah (لا محي ولا مميت الا الله) ini akan membuat kita tenang dalam mengarungi hidup, tenang dalam bekerja, dan tenang dalam berjuang. Kita tidak dihantui ketakutan, karena yakin bahwa hanya Allah-lah yang kuasa mematikan kita. Dan rumusnya adalah, datangnya ajal itu tidak bisa dimajukan, tidak pula bisa ditunda. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ

Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat menundanya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (QS. Al-A’raf: 34)

Ayat ini menggunakan redaksi umat sehingga mayoritas mufassirin menafsirkan mengenai hidup dan matinya sebuah generasi atau bangsa. Namun, sebagian mufassirin juga mengaitkannya langsung dengan kematian manusia karena umat terdiri dari para manusia. Hal itu bisa kita dapatkan dalam Tafsir Al-Azhar dan Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.

“Apa yang dimaksud dengan ajal di sini boleh jadi ajal tiap-tiap generasi manusia yang berupa kematian yang memutuskan kehidupan, dan boleh jadi ajal setiap umat dalam arti masa tertentu kekuatan dan kekuasaan-nya di muka bumi. Baik yang ini maupun yang itu, semuanya sudah ditentukan waktunya. Mereka tidak dapat memajukannya dan memundurkannya,” terang Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.

Keyakinan la muhya wa mumiita illallah (لا محي ولا مميت الا الله) akan membuat kita berani menghadapi risiko. Asalkan kita di jalan yang benar.

Dalam buku Palestina; Kerikil Perkasa Hingga Batu Bicara dituliskan, anak-anak Palestina tahu betul bahwa senjata yang ditenteng tentara Israel berpeluru tajam. Siap dilesakkan kapan saja. Pelurunya siap dihamburkan dan menembus tubuh siapa saja. Tetapi mereka tidak takut.

Dulu, ketika intifadhah menggunakan batu, jurnalis yang meliput di Palestina heran. Mengapa bocah-bocah itu tidak takut berhadapan dengan tentara Israel. Mereka hanya bisa melempar batu. Sedangkan tentara Israel tidak sungkan-sungkan memuntahkan peluru. Namun tidak terlihat ketakutan pada wajah bocah-bocah Palestina itu.

“Apakah kalian tidak takut tertembak peluru tentara Israel?”

Dengan penuh keyakinan seorang anak Palestina menjawab. “Kematian tak bisa dimajukan dan dimundurkan. Kalaupun peluru itu ditakdirkan untuk membunuh, sungguh telah ada nama siapa yang akan terkena peluru itu. Takkan tertukar dengan nama lainnya.”

6. Tiada Yang Mengabulkan Doa Kecuali Allah

Syahadat tauhid yang kita ikrarkan juga bermakna laa mujiiba illallah (لا مجيب الا الله).Tiada Yang Mengabulkan doa kecuali Allah.

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah: 186)

Maka, jangan pernah berdoa kecuali kepada Allah. Perbanyak doa kepada Allah. Dan jika kita ingin Dia mengabulkan doa-doa kita, penuhi perintah-Nya, beriman kepada-Nya termasuk yakin bahwa Allah akan mengabulkan doa-doa kita.

Termasuk syirik besar jika seseorang berdoa kepada selain Allah. Misalnya kepada jin atau orang yang telah mati. Hanya Allah yang bisa mengabulkan doa. Berdoa ini termasuk implementasi tauhid uluhiyah. Karenanya, dalam setiap shalat, kita senantiasa menegaskan bahwa hanya kepada Allah kita beribadah dan hanya kepada-Nya kita berdoa.

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan. (QS. Al-Fatihah: 5)

7. Tiada Pelindung Kecuali Allah

Laa ilaaha illallah juga bermakna laa mutajaara bihi illallah (لا مستجاربه الا الله). Tiada Pelindung kecuali Allah. Bukankah Allah yang menciptakan, Dialah yang bisa melindungi hamba-Nya? Sementara makhluk-Nya tidak kuasa melindungi siapa pun bahkan dirinya sendiri.

أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ فَاللَّهُ هُوَ الْوَلِيُّ وَهُوَ يُحْيِي الْمَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Atau patutkah mereka mengambil pelindung-pelindung selain Allah? Maka Allah, Dialah pelindung (yang sebenarnya) dan Dia menghidupkan orang-orang yang mati, dan Dia adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. Asy-Syura: 9)

Maka, jika kita merasa dalam sebuah bahaya, mintalah perlindungan hanya kepada Allah. Al-Laits bin Sa’ad adalah seorang tabi’in yang alim sekaligus kaya raya. Saat masih muda, ia mewarisi kekayaan ayahnya yang berlimpah. Namun, penguasa yang tidak suka dengannya merobohkan rumah keluarga Al-Laits di Qalqasyandah, Mesir.

Al-Laits membangun kembali rumah itu tetapi penguasa kembali mengirim orang untuk merobohkannya. Sampai tiga kali Al-Laits membangun kembali rumah keluarga tetapi kembali orang-orang penguasa datang merobohkannya. Al-Laits sempat sedih, lantas ia mengadukan masalahnya itu kepada Allah Subhanahu wa Tala’a.

Ketika tertidur, Al-Laits bermimpi didatangi seseorang yang mengatakan kepada-Nya: “Hai Laits, bacalah firman Allah Ta’ala:

وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ

Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi). (QS. Al-Qashash: 5)

Pagi harinya, Al-Laits mendapat berita bahwa penguasa tersebut mengalami kelumpuhan hingga berpesan kepada orang-orang dekatnya agar tidak bertindak zalim kepada Al-Laits.

Beberapa hari kemudian, penguasa itu meninggal dan orang-orang pun membicarakan kemuliaan Al-Laits yang mendapatkan perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

8. Tiada Yang Berhak Disembah Kecuali Allah

Makna paling utama dari laa ilaaha illallah adalah laa ma’buuda bihaqqin illallah (لا معبود بحق الا الله). Tiada berhak disembah kecuali Allah. Inilah tauhid uluhiyah yang ditolak mentah-mentah oleh para tokoh kafir Quraisy seperti Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf, dan lainnya. Padahal tauhid uluhiyah inilah yang Allah perintahkan kepada para Nabi untuk mendakwahkannya. Juga merupakan intisari ajaran Islam.

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu. (QS. Muhammad: 19)

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku”. (QS. Al-Anbiya’: 25)

“Laa ilaaha illallah artinya tiada yang berhak untuk diibadahi selain Allah. Seluruh ibadah hanya boleh ditujukan pada-Nya semata, dan harus ikhlas untuk-Nya, bukan untuk yang lainnya,” terang Syekh Ali Muhammad As-Shalabi.

Ibadah adalah segala bentuk ketaatan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Secara khusus, ibadah mahdhah adalah ritual seperti shalat, puasa, dan berdoa. Jika ditujukan kepada selain Allah, bisa mengeluarkan dari Islam. Termasuk ruku’ dan sujud. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

  لَا يَنْبَغِي أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ إلَّا للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ

Tidak selayaknya seseorang melakukan sujud kecuali hanya untuk Allah sang Pencipta alam semesta. (HR Ibnu Hibban). 

Buya Hamka termasuk orang yang tegas soal ruku’ dan sujud ini. Dalam film Buya Hamka vol.1, kita melihat bagaimana sikap Buya Hamka saat mendapat undangan menghadiri peringatan hari lahir Tenno Heika (Kaisar Jepang) Hirohito. Ia berdiksusi dengan Raham, istrinya, apakah akan hadir atau tidak. Pasalnya, dalam acara itu ada prosesi keirei, yakni membungkukkan badan seperti ruku’ ke arah Timur Laut, ke arah istana kaisar.

Buya Hamka akhirnya tetap hadir tetapi tidak ikut membungkukkan badan saat keirei. Gubernur Sumatera Timur Letnan Jenderal Nakashima menegurnya tetapi ulama penulis itu menjelaskan dengan tegas bahwa Islam melarangnya. Gubernur justru salut dengan sikap Buya Hamka dan mengangkatnya sebagai penasihat.

Namun, dalam buku Kenang-Kenangan Hidup yang Buya Hamka tulis sendiri, beliau mengatakan bahwa beliau tidak hadir dalam acara tersebut.

“… di hari yang ditentukan itu, tidak ada seorang pun di antara mereka, baik Bung Haji atau H. Abdul Rahman Syihab atau ulama lain, yang hadir di tanah lapang. Tidak ada yang ditangkap!” tulis Buya Hamka di bawah judul Keirei. [Muchlisin BK/Tarbiyah]