Beranda Fiqih Tak Semuanya Haram, Ini 6 Ghibah yang Diperbolehkan

Tak Semuanya Haram, Ini 6 Ghibah yang Diperbolehkan

0
ghibah yang diperbolehkan
ilustrasi (pinterest)

Ghibah adalah membicarakan orang lain yang tak berada di sisi kita dengan sesuatu yang ia tak suka jika mendengarnya.

Bagaimana jika yang kita katakan itu adalah fakta? Rasulullah menjawab dengan sabda beliau:

إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ

“Jika apa yang kamu katakan itu ada pada saudaramu, berarti kamu telah ghibah. Dan jika apa yang kamu katakan itu tidak ada pada saudaramu, berarti itu adalah fitnah.” (HR. Muslim)

Syaikh Yusuf Qardhawi menjelaskan, ghibah bisa tentang fisik, nasab, akhlak maupun hal-hal khusus lainnya. Ghibah hukumnya haram. Bahkan dosa ghibah termasuk dosa besar.

“Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang lain, keinginan untuk menodai diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain ketika orang itu tak ada di hadapannya,” kata Yusuf Qardhawi dalam bukunya, Al Halal wal Haram fil Islam. “Ghibah adalah bentuk kelicikan dan kepengecutan. Karena ghibah sama dengan menusuk dari belakang.”

Namun, ada beberapa ghibah yang diperbolehkan. Sejumlah ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Qudamah menyebut ada enam ghibah yang diperbolehkan.

1. Ghibah untuk mengadukan kezaliman (At Tazhallum)

Seseorang yang mengadukan kezaliman orang lain kepada pemegang otoritas atau pihak yang berwenang, ia boleh menyebutkan kezaliman orang tersebut. Misalnya seseorang yang lapor polisi karena ia dianiaya. Maka ia boleh menyebutkan identitas pelaku dan penganiayaan yang dilakukan pelaku tersebut terhadap dirinya.

2. Ghibah untuk meminta tolong (Al Isti’anah)

Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah meminta tolong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam soal putranya yang kadang tidak sholat tahajud. Rasulullah kemudian mengingatkan putra Umar dengan cara beliau yang brilian.

Boleh pula meminta bantuan kepada orang yang dirasa mampu melakukan, untuk mengembalikan seseorang yang bermaksiat atau melenceng dari syariat. Misalnya ada alumni santri yang menyimpang dari ajaran Islam. Padahal ia punya pengikut di kampungnya. Boleh bagi seorang muslim menceritakan kondisinya kepada Kyai guru santri tersebut supaya bisa mengingatkan dan mengembalikan alumninya itu ke jalan yang benar.

3. Ghibah untuk meminta fatwa (Istifta’)

Ini pernah dilakukan oleh Hindun ketika meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia menyampaikan kepada Rasulullah bahwa suaminya pelit.

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ ، فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ « خُذِى أَنْتِ وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, Hindun Ummu Muawiyyah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seseorang laki-laki yang pelit, maka bolehkah aku mengambil dari hartanya secara sembunyi-sembunyi?” Rasulullah bersabda, “Ambillah apa-apa yang mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Bukhari)

Selain meminta fatwa kepada ulama, boleh pula menyebut kekurangan anggota keluarga ketika konsultasi dengan psikolog atau dokter. Misalnya seorang istri yang suaminya ada masalah reproduksi, boleh menyampaikan kepada dokter spesialis andrologi untuk diagnosa. Demikian pula orang tua yang konsultasi kepada psikolog, boleh menceritakan kekurangan anaknya. Tentu semua ini sebatas informasi yang dibutuhkan saja.

4. Ghibah untuk memperingatkan (Tahdzir)

Menyebutkan kekurangan seseorang dalam rangka memperingatkan kaum muslimin diperbolehkan. Misalnya ahli hadits yang menyebutkan cela seorang perawi dalam jarh  wat tad’il. Sebab itu merupakan keharusan agar diketahui apakah seorang perawi diterima atau ditolak riwayatnya. Sehingga derajat suatu hadits bisa diketahui.

Baca juga: Keutamaan Surat Al Falaq

5. Ghibah atas kefasikan yang terang-terangan

Jika diperlukan, boleh menyebutkan kefasikan seseorang yang memang berbuat fasik secara terang-terangan. Misalnya saat menjadi saksi di pengadilan.

Dalilnya adalah Surat Al Baqarah ayat 283:

وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آَثِمٌ قَلْبُهُ

“..dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya..” (QS. Al Baqarah: 283)

6. Penyebutan ciri yang tak terhindarkan

Misalnya seseorang dari jauh yang datang ke suatu kampung. Ia bertanya rumahnya Rijal. Ternyata di kampung itu ada banyak Rijal yang masing-masing punya julukan tersendiri. “Di sini ada empat Rijal. Ada Rijal tukang sepatu, ada Rijal gendut, ada Rijal tukang arloji dan ada Rijal botak. Bapak mencari yang mana?”

“Saya mencari Rijal gendut, Pak.”
“O, Bapak terus saja. Perempatan pertama belok kanan, rumah ketiga menghadap ke Barat. Cat warna hijau.”

Yusuf Qardhawi menyimpulkan, ghibah diperbolehkan jika memenuhi dua syarat. Pertama, adanya kebutuhan yang mendesak. Kedua, niatnya baik.

“Niat itulah yang membedakan antara menuntut hak dan melampiaskan dendam. Antara meminta pendapat dan menjelek-jelekkan. Antara ghibah dan koreksi. Antara memberi nasehat dan menjatuhkan nama baik,” tulis Al Qardhawi dalam buku Al Halal wal Haram fil Islam. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Tarbiyah]