Ning Sheila Hasina menceritakan, abahnya yakni KH. Hasan Syukri Zamzami Mahrus dulu saat nyantri pernah ingin terkenal nakal. Santri yang nakal pada saat itu ukurannya adalah nonton bioskop. Maka, beliaupun pergi ke bioskop. Namun, tidak nonton film melainkan mutholaah.
Ning Sheila menceritakan kisah abahnya itu untuk menjawab pertanyaan seorang santri, “Ada santri yang di pesantren malas tetapi sekarang sukses, bahkan ada yang jadi kiai. Bolehkah kita menirunya?”
Ustadzah Lirboyo itu pun menjawab dengan bertanya balik tentang seseorang yang ngebut dan ugal-ugalan di jalan raya tetapi tetap selamat. “Bolehkah kita menirunya?” Tanya Ning Sheila.
“Tidaak!” Jawab santri serempak.
“Mengapa?”
“Karena belum tentu kita selamat.”
“Demikian pula ketika kita meniru malas, belum tentu kita sukses,” tandas Ning Sheila. Lantas ia menceritakan kisah abahnya tersebut.
“Boleh jadi ketika kita melihat orang sukses seperti itu, kita hanya melihat luarnya. Kita mengira ia malas ternyata sebenarnya ia sangat rajin. Saat tidak bersama kita, ia mutholaah. Bahkan saat kita tidur, ia juga mutholaah.”
Apa Itu Mutholaah
Apa itu mutholaah? Al-Muthala’ah (المطالعة) berasal dari kata thala’a (طلع) yang artinya naik, muncul, atau melihat. Al-Muthala’ah merupakan bentuk masdar yang mengikuti wazan mufa’alah (مفاعلة).
Secara istilah, mutholaah atau tepatnya al-Muthala’ah (المطالعة) adalah membaca dan menelaah secara mendalam suatu teks, khususnya untuk memahami isi bacaan tersebut. Bisa pula berarti mengulang-ulang membaca atau menghafal guna memahami suatu bacaan atau pelajaran. Bacaan di sini utamanya adalah kitab atau buku-buku agama.
Bahasa Indonesia telah menyerapnya menjadi kata telaah. Istilah lain yang kadang bersinonim dengannya adalah murojaah.
Pentingnya Mutholaah
Memang ada orang-orang jenius yang Allah berikan keistimewaan untuk langsung hafal dan memahami suatu ilmu dengan cepat. Bahkan, ada yang bisa menghafal dalam satu kali baca atau satu kali dengar.
Ishaq bin Rahawaih, ulama yang hidup sezaman dengan Al-Khatib Al-Baghdadi, bisa menghafal seperti melihat tulisan. Sekali melihat atau membaca hadits, seketika itu Ishaq hafal. Ma’mar bin Rasyid Al-Azdi, seorang tabi’ut tabi’in murid Qatadah, ia bisa menghafal dalam sekali dengar. Demikian pula Imam Tirmidzi.
Namun, tidak banyak orang seperti itu. Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
إِنَّمَا يُحْفَظُ الرَّجُلُ عَلَى قَدْرِ نِيَّتِهِ
Sesungguhnya kemampuan menghafal seseorang tergantung kesungguhan niatnya.
Di antara bukti kesungguhan niat adalah melakukan mutholaah, membaca dan menelaah, bahkan berulang-ulang. Al-Qur’an sendiri mengingatkan pentingnya mengulang-ulang suatu pelajaran.
وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآَنِ لِيَذَّكَّرُوا
Sungguh telah Kami (jelaskan) berulang-ulang (peringatan) dalam Al-Qur’an ini agar mereka selalu ingat… (QS. Al-Isra’: 41)
Al-Khatib Al-Baghdadi, seorang ulama sekaligus ahli hadits dan sejarawan abad 5 hijriyah, mengingatkan tentang pentingnya murojaah, mutholaah, atau mudzakarah.
“Hati itu ibarat tanah, ilmu sebagai tanamannya, dan mudzakarah (mengulang-ulang, mengingat kembali dalam majelis) sebagai airnya. Jika air berhenti menyirami tanahnya, maka tanamannya pun akan kering,” kata Al-Khatib Al-Baghdadi.
Mutholaah juga merupakan tarbiyah dzatiyah. Yakni upaya pengembangan diri seorang muslim secara mandiri. Ia sangat penting karena pertumbuhan pribadi tidak bisa selalu mengandalkan guru. Kita memang harus belajar dari guru tetapi tidak selalu bisa bersama guru. Bahkan, waktu kita ketika tidak bersama guru lebih banyak daripada bersama beliau. Karenanya, kita perlu belajar secara mandiri agar terus bertumbuh dan berkembang.
Teladan Ulama Terdahulu
Para ulama terdahulu memiliki kesungguhan belajar yang luar biasa. Bahkan, yang awalnya tergolong pembelajar lambat (slow learner) pun bertransformasi menjadi ulama hebat.
Misalnya Rabi’ bin Sulaiman yang awalnya tak paham-paham meskipun Imam Syafi’i berulang kali menjelaskan. Namun, ia tidak putus asa. Ia terus menerus mutholaah dan berdoa hingga kemudian menjadi ulama besar, bahkan termasuk paling berjasa dalam menyebarkan madzhab gurunya. Ia yang menuangkan fatwa dan maqalah Imam Syafi’i dalam bentuk tulisan sehingga berbentuk kitab Ar-Risalah.
Murid Imam Syafi’i lainnya, Imam Al-Muzani, juga tak kalah semangatnya. Penulis kitab Syarhu as-Sunnah ini mengatakan, “Aku telah membaca ulang Ar-Risalah sebanyak 500 kali. Setiap selesai membacanya, aku pasti mendapatkan pelajaran baru.”
Abu Bakar Muhammad bin Abdullah al-Abhari, ulama fiqih ternama pada abad 4 hijriyah, membaca ulang kitab sebanyak puluhan hingga ratusan kali. “Aku telah membaca Mukhtashar Ibnu Abi al-Hakam sebanyak 500 kali, Al-Asadiyah sebanyak 75 kali, Al-Muwaththa’ sebanyak 45 kali, dan Mukhtashar al-Barni sebanyak 75 kali.”
Pernahkah kita membaca dan menelaah kitab tertentu hingga 45 kali atau 75 kali? Apalagi 500 kali. Maka, betapa masih jauhnya kita dengan para ulama. Maka, bersemangatlah untuk mengejar mereka agar Allah mengangkat derajat kita di surga-Nya. [Muchlisin BK/Tarbiyah]