Beranda Materi Tarbiyah Dai adalah Cermin dan Contoh Nyata bagi Dakwahnya

Dai adalah Cermin dan Contoh Nyata bagi Dakwahnya

0
Dai adalah cermin dan contoh nyata bagi dakwahnya

Seorang dai adalah cermin dan contoh nyata bagi dakwahnya. Dai bukanlah model iklan yang bebas mempromosikan suatu produk padahal dirinya tidak memakai produk itu. Dai haruslah menjadi contoh dan teladan atas apa yang ia dakwahkan.

Dai Tak Dapat Dipisahkan dari Dakwahnya

Dai tak bisa dipisahkan dari dakwahnya. Masyarakat pada umumnya akan melihat dai sebelum menilai dakwah yang didakwahkannya. Mereka bisa menerima atau menolak dakwah dengan penilaian terhadap dai tersebut.

Jarang masyarakat yang mengkaji prinsip-prinsip dakwah. Maka yang paling mudah, ia melihat dai itu seperti apa. Jika dai itu punya banyak cacat di masyarakat, biasanya dakwahnya akan ditolak. Sedangkan dai yang punya integritas baik dan dipercaya di masyarakat, mereka tidak punya alasan untuk “menyerang” dai tersebut.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat perintah untuk memulai dakwah terang-terangan, beliau naik ke bukit Shafa dan menyeru orang-orang Makkah secara terbuka.

“Wahai Bani Fihr, Wahai Bani Adi!” Rasulullah menyeru suku-suku Quraisy hingga mereka berdatangan. “Bagaimana menurut pendapat kalian bila kuberitahukan bahwa di balik bukit ini ada segerombolan pasukan berkuda yang akan menyerang kalian? Apakah kalian mempercayaiku?”

“Ya, kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran,” jawab mereka.

Demikianlah Rasulullah memulai dengan menguji tingkat kepercayaan mereka atas integritas beliau. Selama ini tak ada satu pun cacat yang mereka dapati. Bahkan mereka memberikan julukan al amin kepada beliau karena tak pernah berdusta, senantiasa jujur dan paling dipercaya.

“Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepada kalian terhadap azab yang amat pedih,” lanjut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bahkan Rasulullah yang sempurna akhlaknya, masih saja ada orang yang menolak dakwahnya. Meskipun penolakan itu karena kebencian terhadap tauhid, bukan karena kekurangan beliau. Abu Lahab, misalnya. Ia menimpali. “Celaka engkau Muhammad. Apakah hanya untuk ini engkau mengumpulkan kami?”

Maka Allah menurunkan Surat Al Lahab yang menegaskan kecelakaan baginya.

Bayangkan kalau seorang dai dikenal suka berbohong dan tidak amanah. Dakwahnya akan langsung ditolak. “Ah.. ngomong apa kamu itu, dasar tukang bohong!”

Kepribadian Dai adalah Saksi bagi Dakwahnya

Seorang dai, kepribadiannya adalah saksi bagi dakwahnya. Masyarakat akan melihat bagaimana sosok seorang dai lalu membandingkan dengan apa yang ia dakwahkan. Jika sesuai, mereka akan menghormati dakwah itu dan berpikir untuk menerima. Jika tidak sesuai, mereka bisa mencibir dai itu dan menolak dakwahnya.

Maka seorang dai hendaklah menjadi contoh dan teladan dari apa yang ia dakwahkan. Dengan demikian, masyarakat akan melihat dakwahnya sebagai kebenaran. Bukan sekedar teori.

Seluruh nabi dan rasul adalah teladan bagi dakwahnya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan terbaik sepanjang masa. Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut beliau sebagai uswatun hasanah.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al Ahzab: 21)

Baca juga: Ahammiyatus Syahadatain

Perbuatan Dai Lebih Penting dari Kata-Katanya

Dai pasti membutuhkan kata-kata untuk menyerukan dakwahnya. Namun ada yang lebih penting dari kata-kata. Yakni perbuatan dai itu sendiri. Perbuatan dai yang bertolak belakang dari apa yang ia dakwahkan, membuat dakwah itu mentah.

Misalnya seorang dai yang menyerukan shalat berjamaah. Namun ia sendiri jarang shalat jamaah. Apa penilaian masyarakat, “Lha dia sendiri jarang shalat di masjid kok nyuruh-nyuruh orang shalat jamaah.”

Ini tak hanya berlaku dalam dakwah di masyarakat luas, tetapi juga dakwah di keluarga. Seorang ayah yang menyuruh anaknya ke masjid, padahal ia sendiri sedang asyik main HP, anaknya bisa menolak sambil menggerutu. “Ayah saja main HP begitu.”

Berbeda ketika seorang ayah sudah siap ke masjid. Sudah pakai sarung dan kopyah, sudah beruwdhu. “Ayo Nak ke masjid bareng ayah.” Anak menjadi lebih respek dan tergerak berangkat ke masjid. “Baik, Yah.”

Tak hanya dicibir masyarakat, dai yang perbuatannya bertolak belakang dengan apa yang ia dakwahkan, ia akan mendapat kemurkaan Allah. Dan ini yang paling penting.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ . كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. Ash Shaff: 2-3)

Namun ayat ini bukan untuk menghalangi seseorang dari berdakwah. “Saya tidak mau berdakwah, takut kena kabura maqtan. Soalnya saya belum sempurna.”

Justru ayat ini harus menjadi pemicu bagi dai agar menjadi orang pertama yang mengamalkan dakwahnya. Dengan berdakwah, kita mendapatkan dua kebaikan. Pertama, kita memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang semakin baik. Kedua, kita mendapat pahala dakwah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Tarbiyah]