Salah satu pilar penting dalam tarbiyah ruhiyah adalah muraqabah. Syekh Abdullah Nashih Ulwan memasukkannya ke dalam salah satu langkah meraih taqwa. Tepatnya setelah muahadah, sebelum muhasabah, muaqabah, dan mujahadah.
Muraqabah atau muraqabatullah adalah kesadaran spiritual yang mendalam bahwa individu selalu berada dalam pengawasan Allah. Intinya adalah perasaan dekat dengan Allah dan keyakinan bahwa Allah mengetahui setiap rahasia dan niat. Kesadaran permanen ini secara otomatis menumbuhkan rasa malu dan takut untuk berbuat dosa, menjadikannya sistem pertahanan moral dan etika yang bekerja dari dalam jiwa. Maka ia berfungsi sebagai fondasi utama bagi integritas dan kualitas ruhiyah seorang Muslim.
Muraqabah memiliki urgensi yang sangat tinggi karena merupakan pondasi utama bagi terciptanya keikhlasan sejati dalam beramal, dan merupakan jalan untuk mencapai derajat Ihsan. Ihsan adalah tingkatan tertinggi ketika seseorang menjalankan ibadah seolah-olah melihat Allah atau merasa Allah sedang memperhatikannya. Praktik ini secara langsung meningkatkan kekhusyuan dalam ibadah dan menyediakan mekanisme pengendalian diri yang efektif, membantu individu menjaga perilaku dan fokus spiritual mereka di tengah berbagai godaan dunia.
Dampak dari muraqabah bersifat transformatif pada karakter individu. Ia menghasilkan sifat ikhlas yang murni, amanah yang tinggi, dan wara’ (kehati-hatian) dalam segala urusan. Lebih lanjut, ia memupuk kesabaran dan keistiqomahan dalam menghadapi cobaan hidup dan ujian dalam perjuangan, serta memberikan ketenangan hati (sakinah) yang menjadi hasil dari kesadaran akan bimbingan dan perlindungan Ilahi.
Makna muraqabah
Muraqabah bukanlah sekadar teori, melainkan sebuah kondisi hati yang harus kita tumbuhkan dan kita kembangkan. Memahami makna muraqabah secara bahasa dan istilah adalah langkah awal dalam proses pembinaan (tarbiyah) yang berkelanjutan.
1. Makna Secara Bahasa (Etimologi)
Secara bahasa, muraqabah (المُرَاقَبَةُ) berasal dari kata raqaba (رَقَبَ) – yarqubu (يَرْقُبُ) – raqban (رَقْبًا) yang berarti mengawasi, memperhatikan, mengintai, atau menunggu dengan penuh perhatian.
Misalnya kalimat:
رَقَبَ الجُنْدِيُّ العَدُوَّ
Prajurit itu mengintai musuh.
Sedangkan dalam Al-Qur’an misalnya:
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS. An-Nisa’: 1)
2. Makna Secara Istilah (Terminologi)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mendefinisikan:
ٱلْمُرَاقَبَةُ دَوَامُ عِلْمِ ٱلْقَلْبِ بِعِلْمِ ٱللّٰهِ تَعَالَى بِجَمِيعِ أَحْوَالِ ٱلْعَبْدِ
Muraqabah adalah kesadaran hati yang terus-menerus bahwa Allah Ta‘ala mengetahui seluruh keadaan seorang hamba.
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam Madarijus Salikin mendefinisikan:
اَلْمُرَاقَبَةُ دَوَامُ عِلْمِ الْعَبْدِ وَيَقِينِهِ بِاطِّلَاعِ الْحَقِّ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى ظَاهِرِهِ وَبَاطِنِهِ
Muraqabah adalah kesadaran dan keyakinan yang terus-menerus bahwa Allah Yang Maha Benar senantiasa melihat keadaan lahir dan batin seorang hamba.
Dengan demikian, secara istilah, muraqabah adalah:
يَقِينُ الْقَلْبِ وَوَعْيُهُ الدَّائِمُ بِأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى مُطَّلِعٌ عَلَى جَمِيعِ أَحْوَالِ الْعَبْدِ وَأَعْمَالِهِ، ظَاهِرِهَا وَبَاطِنِهَا
Keyakinan hati dan kesadarannya yang terus-menerus bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mengawasi seluruh keadaan hamba dan amal perbuatannya, baik yang lahir (nampak) maupun yang batin (tersembunyi).
Baca juga: Mahabbatullah
Hakikat muraqabah
Jalan dakwah adalah jalan yang panjang dan penuh tantangan. Kemenangan sejati tidak hanya ditentukan oleh kekuatan fisik atau strategi taktis, melainkan oleh kualitas para dai yang memikulnya. Kualitas utama seorang dai adalah kekuatan hati dan kesadaran spiritual yang terus menerus, yang tidak lain adalah muraqabah.
Hakikat Muraqabah terwujud dalam tiga dimensi utama dalam hati seorang Muslim yakni merasa dekat dengan Allah, meyakini Allah mengetahui segala rahasia, serta malu dan takut berbuat dosa.
1. Merasa dekat dengan Allah
Hakikat pertama muraqabah adalah hadirnya rasa kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meyakini bahwa ilmu Allah meliputi kita, pengawasan Allah menyertai kita, dan perlindungan menaungi kita. Ini adalah realisasi firman-Nya:
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid: 4)
Allah sendiri menyatakan bahwa Dia lebih dekat daripada urat leher kita. Sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya. (QS. Qaf: 16)
“Urat leher, di mana darahnya mengalir. Urat menggambarkan dan mengungkapkan genggaman Penguasa dan pengawasan-Nya langsung atas manusia. Tatkala manusia merenungkan hakikat ini, niscaya ia gemetar dan penuh perhitungan. Jika makna ini ada dalam hati kita, niscaya kita tak berani melontarkan satu kata pun yang tidak Ia ridhai. Bahkan kita tak berani menyimpannya dalam hati,” tulis Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
2. Meyakini Allah mengetahui segala rahasia
Hakikat kedua adalah keyakinan mutlak bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu, termasuk niat yang tersembunyi dan bisikan hati. Seorang yang memiliki muraqabah menyadari bahwa tidak ada yang disebut “rahasia pribadi” di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Allah melihat manusia dalam keadaan transparan, tiada satu tiraipun yang menutupinya. Bahkan segala bisikan hati yang tersembunyi pun Allah mengetahui,” kata Sayyid Qutb saat menjelaskan Surat Qaf ayat 6 di atas.
Banyak ayat-ayat lain yang menunjukkan betapa Allah mengetahui segala rahasia dalam diri manusia, juga segala rahasia di langit dan di bumi.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَى عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit. (QS. Ali Imran: 5)
“Tidak ada sesuatu yang ada di bumi maupun di langit yang tersembunyi dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Dia mengetahui semua yang terjadi di alam ini baik secara global maupun terperinci,” tulis Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir.
3. Malu dan takut berbuat dosa
Hakikat muraqabatullah yang ketiga adalah malu dan takut berbuat dosa. Ini merupakan konsekuensi dari keyakinan bahwa Allah dekat dengan kita dan mengetahui segala rahasia kita.
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اسْتَحْيُوا مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ. قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا لَنَسْتَحْيِى وَالْحَمْدُ لِلَّهِ. قَالَ لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَتَتَذَكَّرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى
“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benar malu.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami malu, dan segala puji bagi Allah.” Beliau bersabda, “Bukan itu maksudnya, tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benar malu ialah engkau menjaga kepala dan apa yang ada padanya, perut dan apa yang dikandungnya, serta mengingat mati dan kehancuran.” (HR. Tirmidzi; hasan)
Bersama malu (haya’) juga muncul takut (khauf). Takut mendurhakai-Nya, takut kemurkaan-Nya kita kita berbuat dosa, takut masuk neraka. Ketika rasa takut ini sampai membuat kita menangis dalam keheningan malam, ia menjadi jaminan keselamatan.
عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
Dua mata yang tidak akan tersentuh neraka; mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang tidak terpejam saat berjaga-jaga di jalan Allah. (HR. Tirmidzi; shahih)
Baca juga: Shalat Berjamaah
Urgensi dan Keutamaan
Muraqabah adalah inti dari kehidupan hati dan dasar kebangkitan ruhani seorang mukmin. Tanpa muraqabah, amal menjadi kering dari ruh keikhlasan, dan dakwah kehilangan arah spiritualnya. Karena itu, para murabbi dan dai selalu menanamkan muraqabah sebagai nilai inti dalam tarbiyah Islamiyah, agar setiap amal niatnya karena Allah semata, bukan karena manusia.
1. Pondasi keikhlasan
Muraqabah adalah dasar bagi tercapainya keikhlasan sejati. Seorang dai yang menyadari bahwa Allah adalah satu-satunya pengawas yang sejati akan memastikan bahwa tujuan (ghayah) dari amal perbuatannya hanya tertuju kepada-Nya. Ia beramal karena Allah melihatnya, bukan karena pujian manusia atau mengejar popularitas. Dengan demikian, muraqabah melindungi niat dari kotoran syirik yang tersembunyi (syirkul khafi) seperti riya’ dan sum’ah.
Demikian pula seluruh ibadahnya, pengorbanannya dalam perjuangan dakwah, hingga hidup dan matinya ia niatkan hanya untuk Allah.
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
2. Jalan mencapai derajat ihsan
Salah satu keutamaan muraqabah adalah mengantarkan seorang hamba pada derajat Ihsan. Seorang yang bermuraqabah hidup dalam suasana ihsan, selalu merasakan pengawasan Allah dan kebersamaan-Nya. Ia tidak memerlukan pengawasan manusia, karena hatinya selalu hadir di hadapan Rabb-nya. Sebagaimana jawaban Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Jibril bertanya tentang ihsan dalam hadits Arbain ke-2:
أَنْ تَعْبُدَ اللّٰهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)
Muraqabah adalah kesadaran bahwa “Dia melihatmu,” yang menuntut kualitas amal yang prima, rapi, dan sungguh-sungguh, bahkan ketika ia berada di tempat yang sepi sekalipun. Ini menjadikan setiap amal seorang dai sebagai amal yang paripurna. Muraqabah mengangkat seorang hamba dari sekadar taat karena kewajiban menuju taat karena cinta dan penghayatan.
3. Meningkatkan khusyu’
Khusyu’ dalam shalat dan ibadah lainnya adalah buah dari fokus hati. Muraqabah secara langsung meningkatkan kualitas khusyu’ karena ia memastikan hati terikat dengan kesadaran akan kehadiran Allah.
Ketika seorang mukmin menyadari bahwa Allah sedang mengawasinya saat ia berdiri, rukuk, dan sujud, pikirannya akan sulit disimpangkan oleh urusan duniawi. Pengawasan Ilahi ini memaksa hati untuk berkonsentrasi penuh, dalam suasana kesadaran:
الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ (٢١۸) وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ (٢١۹)
Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat). Dan, (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud. (QS. Asy-Syu’arā’: 218-219)
Maka, shalat pun akan menjadi mi’raj dan tasliyah hakiki, menjadi penyejuk hati.
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
Dan dijadikan penyejuk hatiku ada dalam shalat. (HR. An-Nasa’i dan Ahmad; hasan)
4. Jalan pengendalian diri
Dalam kehidupan di zaman sekarang yang penuh godaan nafsu dan setan, muraqabah berfungsi sebagai sistem pengendalian diri (dhabtudz dzati) yang paling efektif. Kesadaran bahwa Allah mengawasi, terutama di saat sendiri, mencegah seseorang dari perbuatan dosa. Rasa malu (haya’) kepada Allah akan jauh lebih kuat daripada rasa takut kepada pengawasan manusia.
Setiap kali hendak berbuat atau mengucapkan sesuatu, ia ingat bahwa Allah sedang memperhatikan dan malaikat selalu siap mencatat.
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap. (QS. Qāf: 18)
Oleh karena itu, muraqabah adalah benteng (hiṣn) bagi jiwa dari bisikan nafsu dan tipu daya setan, menjamin seorang mukmin tetap istiqamah di atas agama-Nya. Membuat seorang mukmin selalu menjaga diri agar senantiasa bertaqwa.
وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Dampak dari muraqabah
Perjuangan seorang dai tidak berhenti pada kesadaran dan pemahaman kewajiban. Tujuan dari tarbiyah Islamiyah adalah tercapainya perubahan nyata pada kualitas pribadi, yang tercermin dalam perilaku dan sikap sehari-hari. Muraqabah adalah mata air yang memancarkan sifat-sifat mulia, menjadikannya kunci keberhasilan dalam menjalankan risalah dakwah. Buah dari muraqabah inilah yang akan menjadikan seorang rijalud dakwah sebagai teladan bagi masyarakat dan umat.
Penerapan muraqabah secara konsisten dalam hati akan menghasilkan lima dampak transformatif yang sangat krusial bagi kepribadian seorang Muslim: ikhlas, amanah, wara’, sabar dan istiqamah, serta mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan.
1. Ikhlas
Dampak pertama dan terpenting dari muraqabah adalah ikhlas. Ketika seorang hamba yakin bahwa Allah adalah satu-satunya pengawas, ia tidak akan mencari pujian atau pengakuan dari manusia (riya’). Muraqabah membersihkan amal dari segala kotoran duniawi, menjadikan seluruh ibadah dan gerakan dakwah murni hanya untuk mencari keridhaan Allah.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. (QS. Al-Bayyinah: 5)
Muraqabah menanamkan kehadiran Allah dalam setiap amal, hingga seorang mukmin tidak lagi peduli dengan pandangan manusia, karena hatinya hanya mengharap ridha Allah. Ikhlas yang lahir dari muraqabah menjamin diterimanya amal dan menjauhkan dai dari sikap ‘ujub.
2. Amanah
Selain menjadi ikhlas, orang yang bermuraqabah juga akan menjadi pribadi yang amanah. Seseorang yang merasa diawasi oleh Allah tidak akan berani menyalahgunakan kekuasaan, waktu, atau harta, sekecil apa pun, meskipun ia tidak diawasi oleh manusia atau atasan.
Amanah ini juga mencakup amanah terhadap dakwah dan amanah terhadap janji. Termasuk juga memegang teguh kejujuran dalam setiap langkah. Muraqabah adalah penjamin terbaik integritas seorang pemimpin dan pengemban dakwah.
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah kepada yang berhak. (QS. An-Nisa’: 58)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ إِيمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ وَلاَ دِينَ لِمَنْ لاَ عَهْدَ لَهُ
Tidak ada iman (yang sempurna) bagi orang yang tidak memiliki amanah, dan tidak ada agama (yang sempurna) bagi orang yang tidak menepati janji.. (HR. Ahmad; shahih)
3. Wara’
Dampak muraqabah yang ketiga adalah tumbuhnya sifat wara’, yaitu menjauhi hal-hal yang syubhat karena khawatir akan terjatuh pada yang haram.
Kesadaran bahwa Allah mengawasi setiap rezeki yang masuk, setiap ucapan yang keluar, dan setiap pandangan, membuat seorang dai sangat selektif dan berhati-hati dalam setiap keputusan. Wara’ ini adalah benteng pertahanan dari godaan duniawi yang dapat merusak kredibilitas dakwah.
Seorang mukmin yang telah mencapai mqam wara’ ia akan menghindari hal-hal yang meragukan sebagai implementasi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits Arbain ke-11:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ
Tinggalkan apa yang meragukanmu dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu. (HR. Tirmidzi dan An Nasa’i, dan Tirmidzi mengatakan: hadits hasan shahih)
لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنَ الْمُتَّقِينَ حَتَّى يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ
Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sampai ia meninggalkan sebagian yang halal karena khawatir terjatuh pada yang haram. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah; hasan)
4. Sabar dan istiqomah
Muraqabah juga membuahkan kesabaran dan keistiqomahan dalam perjalanan dakwah. Ketika seorang hamba merasa bahwa Allah melihat perjuangannya dan penderitaannya, ia menyadari bahwa kesulitan adalah ujian dan Allah tidak akan menyia-nyiakan usahanya. Keyakinan akan pengawasan dan janji Allah ini memberinya kekuatan untuk terus maju tanpa lelah dan tanpa putus asa.
Ia yakin jika ia tetap sabar dan istiqamah, Allah akan menganugerahinya keberanian (asy-syaja’ah), ketenangan (al-ithmi’nan), dan optimisme (at-tafa’ul). Ujungnya adalah kebahagiaan (as-sa’adah) karena mendapatkan surga sebagai balasan atas keitiqamahannya.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30)
5. Ketenangan hati
Dampak tertinggi dan hadiah langsung dari muraqabah adalah ketenangan hati (as-sakinah). Hati yang selalu merasa diawasi oleh Tuhan Yang Maha Kuasa akan bebas dari kecemasan akan penilaian manusia dan kekhawatiran akan masa depan. Ia menyerahkan segala urusan kepada Pengawas Sejati, menciptakan kedamaian batin yang memungkinkan seorang dai untuk fokus pada tugasnya tanpa terganggu oleh gejolak luar.
Ketenangan ini juga akan semakin menguatkan ruhiyah dan meningkatkan keimanan seorang dai sehingga ia lebih teguh berjuang meninggikan kalimat-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ
Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada)… (QS. Al-Fath: 4)
Baca juga: Doa Materi Tarbiyah
Sarana-sarana menguatkan muraqabah
Setelah mengetahui hakikat, urgensi dan keutamaan, serta dampak muraqabah, kita perlu menguatkannya dengan sarana-sarana yang efektif. Berikut ini sarana-sarana menguatkan muraqabah yang terbagi dalam tiga dimensi yakni sarana intelektual (al-wasail al-aqilyah), sarana spiritual (al-wasail al-ruhiyah), dan sarana sistem sosial (al-wasail al-ijtima’iyah):
1. Sarana intelektual
Sarana intelektual berfokus pada penguatan keyakinan melalui ilmu. Tujuannya adalah menancapkan hakikat pengawasan Allah di dalam akal dan hati.
Misalnya, tadabbur asmaul husna. Merenungkan dan mendalami makna nama-nama dan sifat-sifat Allah yang berhubungan dengan pengawasan dan pengetahuan, seperti Ar-Raqib (Maha Mengawasi), Al-‘Alim (Maha Mengetahui), Al-Basir (Maha Melihat), dan As-Sami’ (Maha Mendengar). Pemahaman ini mengubah konsep pengawasan dari teori menjadi keyakinan hidup.
Contoh kedua, mempelajari dalil-dalil muraqabah: Menguatkan keyakinan dengan selalu merujuk pada ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi dari Allah. Apalagi ketika Allah menggandengkannya dengan mengingatkan kematian.
قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Katakanlah, “Sesungguhnya kematian yang kamu lari darinya pasti akan menemuimu. Kamu kemudian akan dikembalikan kepada Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang selama ini kamu kerjakan.” (QS. Al-Jumu’ah: 8)
2. Sarana spiritual
Sarana spiritual berfokus pada penguatan ikatan emosional dan amal antara hamba dengan Penciptanya, menjadikan muraqabah sebagai pengalaman hati.
Misalnya, muhasabah setiap malam sebelum tidur. Para sahabat tidak menunggu momen tertentu apalagi pergantian tahun untuk muhasabah. Bahkan ada sahabat tak terkenal yang mendapat jaminan surga karena ia rutin muhasabah sebelum tidur, memohon ampun kepada Allah atas kesalahannya pada hari itu dan memaafkan semua saudaranya.
Program penguatan ruhiyah seperti jalasah imaniyah atau mabit juga bagus menjadi sarana spiritual menguatkan muraqabah. Karena ia akan melatih kebiasaan qiyamul lail, disamping ada taujih ruhiyah dan momen muhasabah bersama sesama pengemban dakwah.
Program lainnya adalah ziarah kubur. Program ini akan menghidupkan hati, mengingatkan kematian yang secara otomatis juga mengingatkan bahwa Allah mengawasi dan mencatat setiap amal kita sebagai amal bekal menghadapi kehidupan setelah kematian. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
زُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الآخِرَةَ
Ziarahilah kubur, karena sesungguhnya ia mengingatkan kalian kepada kematian. (HR. Ibnu Majah; shahih)
3. Sarana sistem sosial
Muraqabah harus ditopang oleh lingkungan yang kondusif. Sarana sistem sosial merujuk pada peran organisasi dakwah menciptakan suasana yang mendukung pengawasan diri. Minimal berteman dengan orang-orang shalih.
Lingkungan yang shalih berfungsi sebagai pengingat kolektif. Entah itu komunitas, organisasi dakwah, atau halaqah. Apalagi jika halaqah itu menerapkan mutabaah yaumiyah yang membuat kita selalu diingatkan oleh saudara-saudara seperjuangan.
Memiliki guru atau murabbi juga merupakan bagian dari sarana sistem sosial. Apalagi jika guru atau murabbi kita bisa menjadi teladan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ada yang bertanya kepada beliau tentang teman duduk terbaik:
مَنْ رَأَيْتَهُ ذَكَّرَكَ اللَّهَ، وَسَمِعْتَ كَلاَمَهُ زَادَ فِي عِلْمِكَ، وَرَأَيْتَ عَمَلَهُ ذَكَّرَكَ بِالآخِرَةِ
“Orang yang jika engkau melihatnya, engkau teringat kepada Allah; jika engkau mendengar ucapannya, bertambah ilmumu; dan jika engkau melihat amalnya, engkau teringat kepada akhirat.” (HR. Abu Ya’la; hasan)
Muraqabah, pada akhirnya, adalah proses seumur hidup. Ia adalah jaminan bagi seorang dai untuk tetap ikhlas dalam beribadah dan berdakwah. Ia adalah bahan bakar untuk sabar dan istiqomah dalam berjuang baik sebagai jundi maupun qiyadah. []
