Di antara murid Imam Syafi’i, Rabi’ bin Sulaiman awalnya paling lamban dalam memahami pelajaran. Ketika murid yang lain bisa paham dalam satu dua kali penyampaian, Rabi’ belum juga paham meski sang guru menyampaikan berulang-ulang.
“Sudah paham, Rabi’?” Imam Syafi’i dengan sabar memastikan Rabi’ bisa mencerna apa yang beliau ajarkan.
“Belum, Imam.”
Terkadang, Imam Syafi’i menambah jam pelajaran Rabi’ saat murid yang lain sudah pulang. Bahkan pernah beliau sampai mengulang 39 kali dan Rabi’ masih juga belum paham.
Suatu hari, Rabi’ keluar dari majelis Imam Syafi’i dengan perasaan bersalah, merasa mengecewakan gurunya. Rabi’ hampir putus asa. Namun, tidak demikian dengan Imam Syafi’i. Beliau memanggil Rabi’ ke rumahnya.
“Rabi’, maafkan aku. Sebatas inilah kemampuanku mengajarimu. Jika engkau masih belum paham juga, berdoalah kepada Allah agar berkenan mengucurkan ilmu-Nya untukmu. Aku juga akan mendoakanmu.”
Hari demi hari berganti. Waktu serasa cepat berlalu. Berkah kesungguhannya berdoa dan doa gurunya, Rabi’ menjadi cerdas akalnya dan kuat hafalannya. Beberapa tahun kemudian, Rabi’ bin Sulaiman menjadi salah satu ulama besar kebanggaan umat Islam.
***
Beberapa Ustadz di Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo, pusing menghadapi sejumlah santri yang nakal. Berbagai cara hingga sanksi kedisilpinan tidak membuat santri-santri itu jera. Akhirnya, mereka mengadukan masalah ini kepada Kiai Umar, sang pengasuh pesantren.
“Tolong tuliskan nama santri-santri nakal itu. Urutkan berdasarkan tingkat kenakalan mereka.” Mendengar jawaban Sang Kiai, ustadz-ustadz itu bernapas lega. Mereka membayangkan, santri-santri itu akan dipanggil dan diberi hukuman. Bahkan mungkin dikeluarkan.
Tiga pekan kemudian, santri-santri nakal itu masih terlihat berkeliaran. Belum ada tanda-tanda mereka mendapat hukuman. Penasaran, ustadz-ustadz tersebut memberanikan diri bertanya kepada Kiai.
“Kalian berharap saya menghukum santri? Tidak. Saya minta kalian menulis nama-nama mereka agar saya bisa berdoa secara khusus untuk mereka.”
Belasan tahun kemudian, ketika kisah ini diceritakan oleh K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dalam pengajian di Pesantren Azzahro, Kendal, banyak hadirin tertawa. Namun, ada satu orang yang yang tertunduk diam. Usai pengajian, pria tersebut menghampiri Gus Mus.
“Gus, saya adalah salah seorang santri nakal tersebut. Berkah doa Kiai Umar, sekarang saya menjadi pengasuh pesantren.”
***
Kita yang memiliki amanah sebagai guru, sudahkah mendoakan murid-murid kita? Kita yang menjadi ustadz/ah, sudahkah mendoakan santri-santri kita? Kita yang menjadi dai, sudahkah mendoakan mad’u kita? Kita yang menjadi pembimbing atau pembina, sudahkah mendoakan binaan kita? Kita yang menjadi orang tua, sudahkah mendoakan anak-anak kita?
Segala kepintaran dan kepiawaian kita sesungguhnya tidak mampu mengubah orang lain dan menyentuh hati mereka. Bahkan kalaupun kita memberikan seluruh harta kita, tidak ada yang menjamin kita bisa mengikat hati mereka.
وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Dia (Allah) yang mempersatukan hati mereka (orang yang beriman). Walaupun kamu menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sungguh, Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (QS. Al-Anfal: 63)
Hanya Allah yang Kuasa menyentuh dan mengikat hati manusia. Termasuk hati murid dan binaan kita. Karenanya, mari terus mendoakan mereka. Seperti halnya Imam Syafi’i dan Kiai Umar, sebut nama-nama binaan kita dalam doa. Hadirkan wajah-wajah mereka dalam doa rabithah kita. Semoga Allah mengistiqamahkan kita semua, mengikat kita dalam cinta karena-Nya, dan kelak Allah mengumpulkan kita di surga-Nya. [Muchlisin BK/Tarbiyah]