Pendidikan Islam (tarbiyah islamiyah) bukan hanya transfer pengetahuan. Namun, ia juga penanaman nilai-nilai keimanan dan pembinaan akhlak mulia. Karenanya, ada sastra dalam tarbiyah yang bisa menyentuh rasa dan menyapa ruhiyah.
Sastra bukan hanya memperindah. Dalam tarbiyah islamiyah, sentuhan sastra membuat pencapaian tujuannya menjadi lebih mudah. Karenanya, banyak ulama yang memberikan sentuhan sastra pada ilmu-ilmu Islam. Misalnya dengan menyusun nadham aqidah, fiqih, nahwu, hingga sirah nabawiyah.
Misalnya Aqidatul Awwam, Jauharut Tauhid, dan Nadham Matn Sanusiyyah dalam ilmu aqidah. Az-Zubad dan Al-Kifayah Nadham Matan Ghayatin Nihayah dalam fiqih. Alfiyah Ibnu Malik, Alfiyah Ibnu Mu’thi, dan Nadham Imrithi dalam ilmu nahwu. Al-Urjuzah Al-Mi’iyyah dan Urjuzah fi Sirah Nabawiyah dalam sirah nabawiyah. Dan masih banyak lagi.
Nadham seperti ini umumnya lebih mudah dihafal dan lebih mudah dipahami. Menjadi wasilah taurits tarbawi dari generasi ke generasi.
Sastra juga menumbuhkan keberanian. Sebagaimana maqalah Umar bin Khattab:
عَلِّمُوا أَوْلَادَكُمُ الْأَدَبَ، فَإِنَّهُ يُصَيِّرُ الْجَبَانَ شُجَاعًا
“Ajarilah anak-anak kalian sastra (adab), karena ia dapat menjadikan pengecut menjadi pemberani.”
Pada masa Amirul Mukimin Umar bin Khattab, belajar sastra mencakup sedikitnya tiga hal:
- Mempelajari puisi-puisi (syair) klasik.
- Mempelajari sejarah dan kisah-kisah inspiratif.
- Melatih kefasihan berbicara dan retorika.
Dari ketiga hal itu, perjuangan dan kepahlawanan merupakan tema dominan. Jadi, jangan bayangkan sastra itu selalu melankolis atau bahkan cerita picisan. Maka, sangat wajar jika sastra membentuk keberanian dan semangat perjuangan.
Bacalah sejarah para sahabat. Kita akan mendapati untaian syair penyemangat di medan jihad. Atau syair pembentuk kesabaran di masa yang penuh ujian.
Di era modern, kita dapati bentuk syair terakhir itu di penjara Mesir. Sayyid Quthb menorehkan pena:
أَخِي أَنْتَ حُرٌّ وَرَاءَ السُّدُودِ
أَخِي أَنْتَ حُرٌّ بِتِلْكَ الْقُيُودِ
Saudaraku, engkau tetap merdeka di balik dinding-dinding
Saudaraku, engkau tetap bebas meski terbelenggu rantai
Kita juga mendapati sentuhan sastra dalam karya-karya Sayyid Quthb lainnya. Fi Zhilalil Qur’an diakui banyak kalangan sebagai tafsir Al-Qur’an dengan ketinggian bahasa dan sastra. Membuat umat merasakan jiwa haroki saat membacanya. Bahkan Sayyid Quthb menulis buku khusus Tashwirul Fanni fi Al-Qur’an untuk menggambarkan betapa Al-Qur’an adalah kitab dengan sastra tertinggi yang tak tertandingi.
Meskipun tidak sekental karya Sayyid Quthb, buku-buku karya Hasan Al-Banna dan Mushtafa Masyhur juga ditulis dengan sentuhan sastra. Membuat karya-karya mereka bukan hanya tinggi nilai ideologis tetapi juga estetik.
Dalam tarbiyah era modern kita juga mengenal nasyid-nasyid penuh semangat yang tujuannya sebagaimana Umar bin Khattab maksudkan. Membentuk keberanian dan mengobarkan semangat perjuangan.
Nah, bagaimana memberikan sentuhan sastra dalam tarbiyah islamiyah saat ini? Sebab ada sebuah keniscayaan:
لِكُلِّ زَمَانٍ مَنَاهِجُهُ وَتَحَدِّيَاتُهُ
“Setiap zaman memiliki metode dan tantangannya sendiri.”
Akankah sentuhan sastra akan memberi sumbangsih besar dalam gumregah tarbiyah? Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Tarbiyah]