Orang yang zalim mungkin menang sementara, tetapi kebenaran akan selalu menemukan jalannya. Mereka yang berbuat zalim tak pernah menyadari, bahwa dosa kezaliman akan menjerat mereka sendiri. Saat tahta di genggamannya, ia menindas seolah kekuasaan abadi miliknya. Namun ketika singgasana runtuh, tibalah masa pembalasan, kezaliman itu berbalik menghancurkannya.

Demikianlah kisah Hisyam bin Ismail, penguasa Madinah yang zalim. Segera setelah ia lengser, kezaliman yang ia tebar berubah menjadi badai yang berbalik meremukkannya.

Kisah kehancurannya dimulai saat Umar bin Abdul Aziz menjadi Gubernur Hijaz menggantikannya. Langkah pertama Umar bin Abdul Aziz adalah mengundang 10 ulama besar Madinah dan mengangkat mereka sebagai majelis syuro. Tak hanya meminta nasihat kepada mereka, Umar bin Abdul Aziz juga meminta mereka menyerap aspirasi warga.

Segera saja, penduduk Madinah yang memang dekat dan memuliakan ulama, menyampaikan keluh kesah mereka. Di antara keluhan paling besar, mereka mengadukan kezaliman penguasa sebelumnya. Mereka tak ingin Hisyam melenggang bebas setelah berkuasa sementara luka-luka kezaliman yang ia tebar masih menganga.

Menindaklanjuti tuntutan itu, Umar bin Abdul Aziz melayangkan surat kepada Khalifah Walid bin Abdul Malik. Ia menyampaikan permintaan para ulama yang mewakili penduduk Madinah untuk mengadili Hisyam bin Ismail.

Begitu mendapat persetujuan khalifah, Umar bin Abdul Aziz langsung menangkap Hisyam bin Ismail. Pengadilan pun digelar. Umar mengumumkan, seluruh warga yang pernah dizalimi oleh mantan penguasa Madinah itu boleh datang dan meminta pertanggungjawaban.

Penduduk Madinah menyambut gembira. Mereka datang berduyun-duyun menyampaikan tuntutannya. Para korban kezaliman itu bersuara, menyampaikan kesaksiannya. Mereka yang dulu bersembunyi dalam ketakutan, kini berani mengungkapkan kasus demi kasus dengan terang-terangan. Lebih banyak lagi yang meluapkan kemarahan dengan mencaci maki, menghina, dan mengecam.

Di antara sekian banyak orang yang hadir di pengadilan, ada dua orang yang hanya diam. Tak pernah keluar sumpah serapah dari lisan keduanya. Padahal mereka berdua adalah orang yang paling merasakan kezaliman Hisyam. Keduanya ulama besar: Ali Zainal Abidin dan Said bin Musayyab.

Ali Zainal Abidin yang tak lain adalah Ali bin Husein bin Ali bin Abu Thalib adalah orang yang paling sering dizalimi Hisyam. Sebab ketika menjabat, Hisyam selalu mencaci maki kakeknya, Ali bin Abu Thalib. Bahkan dalam khutbah Jumat. Ketika melihat ada cucu Ali itu, cacian dan penghinaan Hisyam kepada menantu Rasulullah tersebut kian menggebu.

Ada pun Said bin Musayyab, ulama tabiin ini memalingkan muka dari Hisyam dan beristighfar setiap kali Gubernur itu mencaci maki Ali. Hisyam yang tersinggung kemudian meminta pengawalnya untuk secara khusus mengawasi Said bin Musayyab. Begitu mendapati bukti Hisyam memalingkan muka dari Hisyam, pengawal langsung memukulnya.

Berkali-kali Hisyam menghukum dan menyiksa Said bin Musayyab. Hingga puncaknya, Hisyam mengarak Said bin Musayyab keliling Madinah tanpa pakaian, hanya mengenakan celana pendek, untuk menghinakannya dan sebagai teror bagi siapa pun yang berani menentangnya.

Pengadilan memutuskan untuk memenjarakan Hisyam. Ketika semakin banyak orang yang mencacinya, Ali Zainal Abidin menasihati keluarga dan para sahabatnya, “Sesungguhnya Hisyam sudah dipecat dan dipenjara. Maka, tahanlah nafsu kalian. Jangan mengucapkan sepatah kata pun yang menghinanya. Kita serahkan urusannya kepada Allah.”

Said bin Musayyab juga mengajarkan akhlak mulia. “Jangan berkata buruk dan jangan tunjukkan kemarahan kepada Hisyam. Sungguh, aku telah merelakan dan menyerahkan urusannya kepada Allah,” pesannya kepada murid-muridnya.

Demikianlah kemuliaan akhlak Ali Zainal Abidin dan Said bin Musayyab bertemu dengan keadilan Umar bin Abdul Aziz. Kezaliman Hisyam bin Ismail akhirnya berakhir. Di dunia ia mendapatkan hukuman dan di akhirat nanti kezaliman pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal. [Muchlisin BK/Tarbiyah]