Kejujuran (الصدق) adalah fondasi utama akhlak seorang muslim. Ia juga merupakan sifat wajib bagi para Nabi dan Rasul. Seorang muslim harus berusaha konsisten dalam kejujuran.
Dengan mengetahui makna kejujuran, urgensinya, dan manfaatnya, semoga kita terbantu untuk senantiasa jujur. Baik jujur dalam ucapan, perbuatan, niat, janji, maupun komitmen. Dan dengan mengetahui caranya serta meresapi nasihat para ulama, semoga kita bisa menjaga konsitensi kejujuran.
Makna kejujuran
Makna kejujuran meluas dari sekadar berkata benar hingga mencakup ketulusan niat dan kesesuaian tindakan. Juga bukan sekadar sesuainya perkataan dengan kenyataan.
Pengertian secara Bahasa
Secara etimologi, kata kejujuran berasal dari bahasa Arab ash-shidq (الصِّدْقُ). Berasal dari kata kerja shadaqa (صَدَقَ) yang artinya benar, nyata, sesuai dengan kenyataan, dan berkata benar. Lawan dari As-Sidq adalah Al-Kadzib (الكذب) yang berarti dusta atau bohong. Jadi, secara bahasa, ash-shidq (الصِّدْقُ) artinya kejujuran, kebenaran, ketulusan.
Istilah untuk pelaku (fail) adalah shaadiq (صَادِقٌ). Sedangkan shiddiq (صِدِّيقٌ) merupakan bentuk sighat mubalaghah (menunjukkan intensitas) yang berarti orang yang sangat jujur atau selalu benar, baik dalam ucapan maupun perbuatan.
Abu Bakar mendapat gelar ash-shiddiq karena selalu jujur dan membenarkan apa yang Rasulullah sampaikan. Sedangkan Rasulullah mendapat gelar ash-shadiqul mashduq seperti pada Hadits Arbain ke-4, karena Rasulullah selalu jujur, tidak pernah berdusta, dan merupakan manusia paling terpercaya.
Pengertian secara Istilah
Secara istilah (terminologi), kejujuran atau ash-shidq memiliki cakupan yang jauh lebih luas daripada hanya berkata benar. Ia adalah kesesuaian atau keselarasan menyeluruh yang meliputi dimensi lahiriah (ucapan dan perbuatan) dan batiniah (niat dan kehendak).
Secara istilah, kejujuran adalah penyampaian informasi atau perkataan yang sesuai dengan realitas, disertai dengan tindakan yang selaras dengan ucapan tersebut, serta dilandasi oleh niat yang tulus (ikhlas) hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Inti dari kejujuran terminologis dalam Islam adalah:
- Kesesuaian ucapan dan realitas. Apa yang diucapkan benar-benar terjadi atau sesuai fakta.
- Kesesuaian perbuatan dan ucapan. Tidak adanya kemunafikan; tindakan sejalan dengan janji atau pernyataan.
- Kesesuaian batin dan lahir. Niat dalam hati tulus dan murni hanya untuk mencari ridha Allah.
Maka, jujur mensyaratkan sesuainya ucapan dengan fakta dan niatnya mengucapkannya juga benar. Meskipun ucapan sesuai dengan realita tetapi jika maksudnya berbohong, maka tidak termasuk jujur.
Contoh, suatu pagi Bahlul melihat Ahmad di rumah. Satu jam kemudian, ada tamu dari desa lain yang bertanya alamat Ahmad kepada Bahlul.
“Saya dapat info kalau Ahmad bisa memperbaiki LCD Proyektor. LCD sekolah kami rusak,” kata tamu tersebut.
Karena Bahlul tidak ingin Ahmad mendapat customer, ia mengatakan bahwa tetangganya itu keluar kota. Meskipun ternyata Ahmad betul-betul berangkat keluar kota setengah jam setelah bertemu Bahlul, Bahlul tetap bukan orang jujur karena niatnya berdusta meskipun ucapannya sesuai fakta.
Baca juga: Mahabbatullah
Pentingnya kejujuran
Kejujuran merupakan karakter penting yang harus melekat pada diri setiap muslim. Ia memiliki urgensi dan kedudukan penting karena merupakan karakter utama orang beriman, jalan ke surga, pondasi integritas, serta dasar kepercayaan dan hubungan.
1. Karakter Utama Orang Beriman
Kejujuran adalah ciri khas para Nabi dan Rasu. Shiddiq (jujur dan benar) adalah salah satu sifat wajib mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang-orang beriman untuk senantiasa bertakwa dan memegang kejujuran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar (jujur). (QS. Al-Ahzab: 71)
Jujur adalah karakter orang beriman. Meskipun mungikin saja orang beriman punya cacat atau cela, tidak mungkin orang yang beriman itu pembohong. Sebab iman dan kebohongan ibarat air dan minyak yang tidak mungkin bersatu.
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ جَبَانًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ بَخِيلًا فَقَالَ نَعَمْ فَقِيلَ لَهُ أَيَكُونُ الْمُؤْمِنُ كَذَّابًا فَقَالَ لَاَ
Ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Mungkinkah seorang mukmin itu pengecut?”. Rasulullah menjawab, “Mungkin.” Ditanyakan lagi, “Mungkinkah seorang mukmin itu bakhil?” Rasulullah menjawab, “Mungkin.” Ditanyakan lagi, “Mungkinkah seorang mukmin itu pembohong?” Rasulullah menjawab, “Tidak!” (HR. Imam Malik dalam Al Muwatta’ dan Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
2. Jalan ke Surga
Kejujuran adalah gerbang menuju segala bentuk kebaikan (al-birr), dan kebaikan itulah yang mengantarkan pelakunya ke dalam surga. Kebalikannya, dusta adalah pintu menuju kefasikan (al-fujur) dan mengarah ke neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا ، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ ، فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الْفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantar ke surga. Dan seseorang yang terus menerus berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allâh sebagai orang yang jujur. Jauhilah oleh kalian berbuat dusta, karena dusta membawa kepada kejahatan, dan kejahatan mengantar ke neraka. Dan seseorang yang terus menerus berdusta dan memilih kedustaan maka akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta (pembohong). (HR. Bukhari dan Muslim)
Syekh Yusuf Qardhawi, dalam Min Fiqh ad-Daulah fi al-Islam, selalu menekankan bahwa kejujuran adalah akhlak mendasar. Beliau memandang kejujuran bukan hanya nilai moral, tetapi juga sarana untuk mencapai keridaan Allah dan kebahagiaan di akhirat. Kejujuran adalah manifestasi ketakwaan yang Allah perintahkan dalam ayat-ayat di atas.
3. Pondasi Integritas
Kejujuran adalah inti dari integritas dan amanah. Orang yang jujur memiliki kesesuaian antara perkataan dan perbuatan. Dalam konteks bermuamalah (interaksi sosial dan bisnis), kejujuran adalah sumber keberkahan dan kepercayaan.
Sirah Nabawiyah mengajarkan kepada kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi orang yang paling dipercaya oleh penduduk Mekkah karena beliau selalu jujur. Rasulullah pun mendapat gelar al-amin. Integritas berbasis kejujuran inilah yang membuat mereka selalu percaya kepada Rasulullah, termasuk ketika pada usia 35 tahun beliau menjadi hakim atas perselisihan peletakan hajar aswad saat renovasi ka’bah. Mereka pun puas dengan keputusan Rasulullah hingga terhindar dari perang saudara.
Pondasi integritas beliau pula yang membuat orang-orang Quraisy menjawab “kami percaya” ketika Rasulullah mengumpulkan mereka di bukit Shafa. Memang sebagian besar mereka menolak dakwah Rasulullah tetapi itu karena apa yang beliau bawa bertolak belakang dengan nafsu mereka.
Mereka tetap percaya pada kejujuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Buktinya, mereka menitipkan barang kepada Rasulullah. Ketika Rasulullah berangkat hijrah, Ali bin Abu Thalib masih di Mekkah selama tiga hari untuk mengurusi pengembalian barang-barang titipan Quraisy tersebut.
Seorang dai harus memiliki kejujuran agar integritasnya kuat dan dengan demikian dakwahnya tidak mudah terpatahkan. Namun, jika seorang dai sering berbohong, dakwahnya akan mudah dibantah: “Kami tidak percaya pada seorang pembohong.”
4. Dasar Kepercayaan dan Hubungan
Dalam masyarakat, kejujuran adalah mata uang yang paling berharga karena menjadi dasar bagi terbangunnya rasa saling percaya (tsiqah). Baik dalam rumah tangga, pertemanan, maupun kepemimpinan. Tidak ada hubungan yang dapat bertahan tanpa adanya kejujuran. Dusta akan merusak hubungan dan menimbulkan kecurigaan.
Tanpa kejujuran, tidak ada kepercayaan. Semakin sering terbukti berbohong, orang tidak akan mendapat kepercayaan. Apalagi bagi seorang dai, bagaimana dakwahnya bisa berhasil jika masyarakat tidak mempercayainya.
Demikian pula terbangunnya hubungan kuat antara suami istri, orang tua dengan anak, atasan dengan bawahan, pembeli dengan penjuan, hingga pebisnis dengan customer, semuanya membutuhkan kejujuran untuk membangun baiknya hubungan.
Baca juga: Shalat Berjamaah
Macam-macam kejujuran
Kejujuran (ash-shidq) dalam Islam memiliki cakupan yang luas, tidak terbatas pada lisan saja, melainkan mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim. Para ulama membagi kejujuran ke dalam beberapa kategori, di antaranya adalah:
1. Jujur dalam Ucapan
Jujur dalam ucapan (shidqul lisan) adalah bentuk kejujuran yang paling mendasar dan tampak. Artinya, kesesuaian antara apa yang seseorang ucapkan dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi, tanpa menambah, mengurangi, atau memutarbalikkan fakta. Sebagaimana perintah Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 71 di atas.
Contoh, seorang pedagang menyebutkan semua cacat atau kekurangan barang dagangannya kepada pembeli. Seorang saksi menyampaikan keterangan di pengadilan sesuai dengan apa yang ia lihat dan dengar, meskipun merugikan dirinya.
Contoh yang luar biasa dalam hal ini adalah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi’. Mereka jujur kepada Rasulullah tentang alasan tidak ikut Perang Tabuk meskipun mereka harus menerima iqab (hukuman) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Jujur dalam Perbuatan
Jujur dalam perbuatan (shidqul ‘amal) berarti kesesuaian antara tindakan lahiriah seseorang dengan hakikat batinnya, bebas dari riya’ atau mencari pujian manusia. Contoh pada masa Rasulullah adalah para sahabat yang masuk Islam dengan penuh kejujuran.
Sedangkan contoh yang tidak jujur dalam perbuatan adalah orang-orang munafik yang ikut shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi dalam hati ia tidak beriman.
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (ingin dilihat) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali. (QS. An-Nisa’: 142)
3. Jujur dalam Niat
Jujur dalam niat (shidqun niyyat) adalah memurnikan niat semata-mata karena Allah dalam setiap aktivitas. Niat menjadi pondasi semua amal, dan kejujurannya akan menentukan apakah amal tersebut Allah terima atau tidak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Hadits Arbain ke-1:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya semua amal tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Contoh, seseorang berniat menuntut ilmu agama semata-mata untuk mengamalkannya dan menghilangkan kebodohan, bukan untuk mencari kedudukan atau perdebatan. Seseorang berinfak dengan niat tulus agar hartanya menjadi berkah di sisi Allah.
Contoh lain, seseorang aktif dalam tarbiyah karena ingin tafaqquh fiddin dan berjuang bersama mendakwahkan agama-Nya bukan karena ingin memata-matai gerakan Islam atau punya niat menghancurkannya dari dalam.
4. Jujur dalam Janji
Jujur dalam janji (shidqul wa’di) adalah menepati setiap perkataan yang telah diikrarkan atau disepakati kepada orang lain. Melanggar janji (khianat) adalah salah satu ciri kemunafikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang menepati janji:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Ismail di dalam Kitab. Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. (QS. Maryam: 54)
Contoh, seseorang yang berjanji akan datang pada waktu tertentu harus berusaha keras untuk menepati waktu tersebut. Seorang pemimpin yang berjanji akan menjalankan tugas dengan amanah harus melaksanakannya tanpa khianat.
5. Jujur dalam Komitmen
Jujur dalam komitmen (shidqul ‘ahdi wal iltizam) mencakup semua interaksi dan transaksi dengan orang lain, termasuk dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab. Termasuk dalam menjalankan komitmen organisasi dan tugas dakwah. Kejujuran ini memastikan terwujudnya keadilan dan keberkahan dalam organidasi dan masyarakat.
Contoh, seseorang yang sudah mendapatkan amanah sebagai pengurus organisasi, ia akan berusaha keras menunaikan amanah tersebut sebaik-baiknya. Apalagi jika ia telah berikrar dan mengucapkan sumpah jabatan. Contoh terbaik adalah para sahabat yang jujur dalam komitmen baiatur ridwan.
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ فَمَنْ نَكَثَ فَإِنَّمَا يَنْكُثُ عَلَى نَفْسِهِ وَمَنْ أَوْفَى بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad), (pada hakikatnya) mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Oleh sebab itu, siapa yang melanggar janji (setia itu), maka sesungguhnya (akibat buruk dari) pelanggaran itu hanya akan menimpa dirinya sendiri. Siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan menganugerahinya pahala yang besar. (QS. Al-Fath: 10)
Cara Menjaga Konsistensi Kejujuran
Kejujuran (ash-shidq) adalah pondasi keimanan yang harus kita jaga konsistensinya. Konsistensi dalam kejujuran menuntut upaya berkelanjutan, tidak hanya dalam perkataan tetapi juga dalam niat dan perbuatan. Berikut adalah langkah-langkah untuk menjaga konsistensi kejujuran.
1. Menguatkan Iman dan Muraqabatullah
Kunci utama menjaga kejujuran adalah kesadaran bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa melihat dan mengawasi setiap perbuatan, ucapan, dan niat kita. Kesadaran ini disebut muraqabatullah. Seseorang akan kesulitan berbohong jika ia yakin bahwa ia tidak pernah sendirian.
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kalian. (QS. An-Nisa’: 1)
Kesadaran akan pengawasan Allah ini akan menguatkan niat batin untuk selalu jujur, karena tujuan setiap amal adalah ridha-Nya, bukan pujian manusia.
2. Membiasakan Jujur Meskipun Pahit
Kejujuran seringkali terasa berat karena konsekuensinya mungkin menyakitkan atau merugikan diri sendiri di dunia. Namun, seorang Muslim diperintahkan untuk tetap jujur, karena ujung dari kejujuran adalah kebaikan dan keselamatan.
قُلِ الْحَقَّ وَإِنْ كَانَ مُرًّا
Katakanlah kebenaran, meskipun itu pahit. (HR. Ibnu Hibban)
Hadits ini mengajarkan bahwa harga kejujuran di dunia mungkin mahal, tetapi pahala dan ketenangan lebih utama. Sebagaimana Ka’ab bin Malik yang merasakan hari terbaik setelah lulus hukuman akibat jujur terkait ketidakhadirannya pada Perang Tabuk.
3. Menghindari Pendorong Kebohongan
Konsistensi kejujuran akan sulit tercapai jika seseorang tidak menjauhi segala hal yang dapat mendorongnya kepada dusta dan kejahatan. Kebohongan (al-kadzib) adalah pintu gerbang menuju kejahatan (al-fujur).
Menghindari pendorong kebohongan seperti riya, tamak, atau takut kehilangan dunia adalah langkah preventif untuk mempertahankan kejujuran.
4. Menjadikan Rasul sebagai Teladan
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan terbaik (uswah hasanah) dalam segala hal, termasuk kejujuran. Beliau bahkan mendapat gelar Al-Amin jauh sebelum menjadi Rasul. Meneladani konsistensi beliau dalam ucapan, janji, dan amanah adalah cara paling efektif untuk menjaga kejujuran.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
5. Bergaul dengan Orang Jujur
Lingkungan pergaulan memiliki pengaruh besar terhadap karakter seseorang. Untuk menjaga konsistensi kejujuran, seseorang harus memilih teman dan komunitas yang juga memegang teguh kejujuran (shadiqin). Komunitas yang baik akan saling mengingatkan dan mendukung dalam kebenaran.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur). (QS. At-Taubah: 119)
Perintah untuk “bersama orang-orang yang jujur” menyiratkan pentingnya memilih pergaulan yang mendukung nilai kejujuran, karena lingkungan yang buruk dapat dengan mudah merusak integritas.
Buah kejujuran
Akhlak mulia ini akan membawa dampak positif yang besar, baik bagi individu maupun masyarakat. Buah atau hasil dari konsistensi dalam kejujuran ini tidak hanya kita rasakan di dunia, tetapi juga merupakan janji pasti di akhirat.
1. Ketenangan Hati
Salah satu dampak langsung dari kejujuran adalah ketenangan hati dan kedamaian jiwa. Orang yang jujur tidak perlu mengingat-ingat kebohongannya atau takut kebohongannya terbongkar, sehingga hatinya lapang. Sebaliknya, kebohongan selalu menimbulkan keraguan dan kegelisahan.
فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Sesungguhnya kejujuran mendatangkan ketenangan dan sesungguhnya kebohongan mendatangkan kegelisahan. (HR. Tirmidzi)
Ketenangan ini adalah hadiah spiritual bagi hamba yang memilih jalan kebenaran dan menjauhi kegelapan kebohongan.
2. Mendapat Kepercayaan
Kejujuran adalah pondasi dari segala bentuk hubungan dan muamalah. Seseorang yang dikenal jujur akan mendapatkan kepercayaan (tsiqah) penuh dari Allah dan sesama manusia. Kepercayaan ini adalah aset sosial yang sangat berharga.
Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang ganjaran bagi orang-orang yang jujur:
لِيَجْزِيَ اللَّهُ الصَّادِقِينَ بِصِدْقِهِمْ وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ إِنْ شَاءَ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
agar Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu karena kebenarannya dan mengazab orang munafik jika Dia menghendaki atau menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab: 24)
3. Dicatat sebagai Orang Jujur
Ganjaran tertinggi bagi orang yang konsisten dalam kejujuran adalah dicatat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai shiddiq (orang yang sangat jujur atau membenarkan kebenaran). Sebagaimana sabda Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam:
وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ صِدِّيْقًا
Dan seseorang yang terus menerus berlaku jujur dan tetap memilih jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang jujur. (HR. Bukhari dan Muslim)
Derajat shiddiqin adalah tingkatan mulia setelah para Nabi.
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Siapa yang menaati Allah dan Rasul (Nabi Muhammad), mereka itulah orang-orang yang (akan dikumpulkan) bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An-Nisa’: 69)
4. Membawa Keberkahan
Kejujuran, terutama dalam konteks muamalah (interaksi sosial, perdagangan, pekerjaan), menjadi sumber keberkahan rezeki. Keberkahan adalah bertambahnya kebaikan dan manfaat meskipun jumlahnya sedikit.
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Dua orang yang berjual beli memiliki hak khiyar (pilihan) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan (kondisi barang), maka keduanya akan diberkahi dalam jual belinya. Dan jika keduanya berdusta dan menyembunyikan (cacat), maka keberkahan jual beli mereka akan dihapus. (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa keberkahan rezeki secara langsung terkait dengan kejujuran dan keterbukaan dalam transaksi.
Perkataan para ulama tentang kejujuran
Banyak nasihat ulama tentang menjaga konsistensi kejujuran. Kita kutipkan tiga di antaranya yakni nasihat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Imam Hasan Al-Banna, dan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari.
1. Umar bin Khattab
لَأَنْ يَضَعَنِي الصِّدْقُ وَقَلَّمَا يَفْعَلُ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ يَرْفَعَنِي الْكَذِبُ وَقَلَّمَا يَفْعَلُ
“Kejujuran yang menjatuhkanku (meski sedikit yang melakukan) lebih kusukai daripada kebohongan yang mengangkat derajatku, dan itu sedikit yang melakukan.” (Adabud Duniya wad Din)
2. Hasan Al-Banna
أَنْ تَكُوْنَ صَادِقَ الْكَلِمَةِ فَلَا تَكْذِبْ أَبَدًا
“Jadilah orang yang jujur, jangan sekali-kali berdusta.” (Risalah Ta’alaim, Wajibat Al-Akh ke-6)
3. Hasyim Asy’ari
وَيَنْبَغِي لِلْمُتَعَلِّمِ أَنْ يَتَجَنَّبَ الْكَذِبَ، وَيَعْتَادَ الصِّدْقَ فِي جَمِيعِ أَقْوَالِهِ وَأَفْعَالِهِ. فَإِنَّ الْكَذِبَ مِنْ أَقْبَحِ الرَّذَائِلِ، وَالصِّدْقَ مِنْ أَشْرَفِ الْفَضَائِلِ.
“Seorang penuntut ilmu seharusnya menjauhi kebohongan, membiasakan diri dengan kejujuran dalam semua ucapan dan perbuatannya. Sebab, kebohongan adalah seburuk-buruk akhlak tercela, sedangkan kejujuran adalah seutama-utama akhlak mulia.”
Demikian nasihat untuk menguatkan komitmen kita berkata dan berbuat jujur dan menjauhi kebohongan. Semoga dengan menyimak dan merenungkannya, kita bisa konsisten dalam kejujuran. []
