Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Depkes RI juga merumuskan bahwa sehat adalah keadaan normal dan sejahtera daripada anggota tubuh, sosial, dan jiwa yang terjadi pada seseorang. Keadaan ini dimaksudkan untuk dapat dengan mudah dan gesit dalam melakukan aktivitas tanpa gangguan yang berarti.
Mengacu dari definisi itu maka ibu yang sehat adalah ibu yang memenuhi kriteria sehat secara fisik, jiwa, dan sosial. Untuk memenuhi kriteria ibu yang sehat tentu sangat membutuhkan banyak bekal, mengingat peran seorang ibu adalah melahirkan dan mendidik generasi masa depan. Sesungguhnya menyiapkan generasi dimulai dari keluarga, dan ibu adalah madrasah pertama bagi setiap anak.
Rasulullah bersabda, “Seorang lelaki adalah pemimpin di dalam keluarganya dan ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Dan seorang wanita juga pemimpin di rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk mewujudkan generasi yang sehat tentu tidak lepas dari tanggung jawab orang tua atau ibu sebagai pendidik. Tanggung jawab itu meliputi pendidikan terhadap iman, fisik, moral, akal, jiwa, dan sosial.
Sosok ibu yang sehat juga harus terbekali dengan iman, fisik, moral, akal, jiwa dan sosial. Jika seorang ibu mampu memaksimalkan perannya maka tentu akan lahirlah sosok generasi yang unggul dan akhirnya terbentuk keluarga yang kokoh dan dampaknya tentu pada masyarakat yang tangguh, kota yang sehat dan negara yang berketahanan.
Bagaimana Seorang Ibu Mendidik Generasi
Sebagai madrasah pertama, setidaknya ada tujuh peran ibu dalam mendidik anak-anaknya.
Pertama, mendidik keimanannya. Yakni membekali anak-anak dengan dasar keimanan, rukun Islam, dan dasar syariat. Dengan begitu, lahirlah anak yang bagus moral dan karakternya karena telah tertanam kecintaan kepada Allah, Nabi, dan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya. Keluarga adalah wahana pertama dan utama dalam membentuk karakter anak. Tanpa itu, mustahil generasi mendatang akan memiliki kualitas yang bisa bersaing di masa depan. Pendidikan karakter harus diperkuat mulai dari lingkungan keluarga.
Kedua, mendidik fisiknya. Karena ibu pasti mendambakan agar anak punya pertumbuhan dan perkembangan yang baik (asih, asah, asuh) hingga dewasa dengan memiliki fisik kuat, sehat, bersemangat agar bisa menebarkan kebermanfaatan di muka bumi. Mengawalinya tentu dengan memastikan yang halal untuk anak-anak kita. Kemudian mengajarkan kesehatan dalam makan dan minum. Membentengi diri dan anak dari penyakit skaligus mengobati yang sakit, membiasakan anak gemar berolahraga.
Ketiga, mendidik akalnya. Misalnya dengan mengajarkan anak gemar membaca, memilih sekolah yang mendekatkan anak kepada Allah dan Rasul-Nya, adanya ruang diskusi antara orangtua dan anak.
Keempat, mendidik jiwanya. Yakni menjadikan anak yang penuh semangat, percaya diri, tumbuh jiwa sosialnya, cerdas finansial, dan memiliki manajemen waktu yang handal.
Kelima, mendidik potensi sosialnya. Bagaimana berinteraksi dengan orang tua atau birrul walidain, interaksi dengan keluarga, interaksi dengan teman dan tetangga, interaksi kepada guru, dan interaksi dengan masyarakat.
Keenam, memberikan pendidikan seks. Bagaimana fase perkembangan anak, memahamkan konsep aurat laki laki dan perempuan, mempersiapkan anak menuju balig, mengajarkan anak menjaga harga dirinya.
Ketujuh, memberikan keteladanan dan mendidik dengan nasihat.
Pendidikan Terpadu (Integral)
Pola mendidik di atas adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan untuk mewujudkan keluarga tangguh yang berketahanan, karena posisi penting keluarga merupakan batu bata pertama dan utama dalam membangun masyarakat dan bangsa. Jika keluarga kokoh maka masyarakat dan bangsa ini akan kokoh. Banyaknya permasalahan yang dialami bangsa ini, misalnya di Surabaya, jika ditarik kesimpulannya berawal dari keluarga yang rapuh.
Perempuan atau ibu sebagai bagian dari masyarakat memiliki hal hal yang menarik untuk dikaji karena keterkaitan yang besar dengan keluarga, masyarakat, ketahahan keluarga yang akan berdampak pada ketahanan nasional. Oleh karena itu, ketika muncul permasalahan ketahanan keluarga, menuntut peran para ibu untuk ikut peduli dengan memaksimalkan peran di keluarganya masing-masing. Kemudian juga pada wilayah lingkungan di mana dia tinggal. Dengan begitu para ibu telah memberikan keteladaan dan menjadi bagian dari problem solver di masyarakat.
Kita tahu bahwa permasalahan ketahanan keluarga ini selalu memberikan dampak pada generasi. Maka harapannya, butuh penangan yang cepat. Dengan peran ibu di wilayah kecil masing-masing, berharap menjadi upaya integral penanganan masalah keluarga yang terjadi di kota Surabaya.
Potret masalah keluarga Surabaya saat ini dan realitas sosial yang sering memicu permasalahan ketahanan keluarga yang terjadi antara lain masalah kemiskinan yang berdampak pada masalah yang lain seperti pendidikan dan kesehatan. Kesejahteraan sosial mulai anak sampai lansia. Kriminalitas terhadap anak yang memberikan dampak secara fisik dan psikis. Adanya kasus kasus keluarga, kasus remaja, pergaulan bebas, narkoba, Aids, kasus KDRT, perceraian, dan kasus yang merata yang menjadi keprihatinan bersama saat ini yaitu Stunting. Semua permasalahan itu tentu butuh penanganan yang integral, karena kaitan dari satu masalah dengan masalah yang lain.
Munculnya generasi yang sehat dan unggul di Surabaya tentu bermula dari keluarga, didukung masyarakat dan pemerintah. Jika bangsa ini tidak ingin punah, mari kita kembalikan peran ayah dan ibu secara benar. Ayah dan ibu adalah partner terbaik dalam membangun bangsa yang lebih baik. Mari kita bersinergi dengan semua elemen yang ada, kita wujudkan gerakan yang nyata di lapangan karena kekuatan kita ada di sana. Harapannya, semoga menjadi kontribusi amal yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2021. Ketika menjadi anak, engkau menjadi penghalang api neraka bagi orang tuamu, ketika menjadi istri engkau menjadi penyempurna separuh agama suamimu, dan ketika menjadi seorang ibu, maka surga berada di bawah telapak kakimu. Sungguh mulia, wahai para ibu. []
Penulis: Dyah Wulandari Qonitats