Surat Al-Baqarah Ayat 3 dan Artinya
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 3
Tafsir Al-Muyassar
Mereka adalah orang-orang bertakwa yang membenarkan berita-berita gaib yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – seperti berita tentang hari kiamat, surga, dan neraka, kejadian-kejadian di masa lalu dan peristiwa-peristiwa yang akan datang- dan mendirikan shalat dengan sesempurna-sempurnanya.
Allah tidak menyebut “mengerjakan shalat” tetapi menggunakan istilah “mendirikan shalat”. Jadi, maksudnya adalah: melaksanakannya dengan khusyu’ serta memenuhi segenap syarat, rukun, dan sunah-sunahnya. Dengan cara seperti itulah shalat seseorang akan bisa mencegahnya dari per- buatan keji dan mungkar.
Selain itu, orang-orang bertakwa itu juga menginfakkan sebagian dari rezki mereka untuk berzakat, bersedekah, menyambung tali silaturahim, dan melakukan pelbagai macam amal kebajikan dan segala bentuk cara untuk men- dekatkan diri kepada Allah. Mereka tidak menahan sesuatu apa pun untuk kepentingan di jalan Allah. Karena, rezki mereka adalah berasal dari Allah, bukan dari mereka sendiri. Selain itu, yang perlu mereka infakkan pun tidak harus semuanya, tetapi hanya sebagiannya saja.
Tafsir Jalalain
Orang-orang yang beriman yang membenarkan kepada yang gaib yaitu yang tidak kelihatan oleh mereka, seperti kebangkitan, surga dan neraka. Dan mendirikan salat artinya melakukannya sebagaimana mestinya. Dan sebagian dari yang Kami berikan kepada mereka, yang Kami anugerahkan kepada mereka sebagai rezeki mereka nafkahkan, mereka belanjakan untuk jalan menaati Allah.
Tafsir Al-Wajiz
Ciri-ciri orang yang bertakwa ada enam, yaitu membenarkan secara mutlak dan sempurna semua sesuatu yang ghaib, seperti malaikat, jin, hari kebangkitan, hari perhitungan, dan hal lain tentang kengerian hari kiamat; melaksanakan shalat secara sempurna dengan rukun dan syaratnya, khusyu’ di dalamnya karena Allah dan menjaganya sesuai waktunya; menafkahkan apa yang diberikan oleh Allah secara baik dan halal untuk zakat yang telah diwajibkan, untuk sedekah di jalan Allah, serta nafkah wajib untuk kerabat dan keluarga lainnya;
Tafsir As-Sa’di
Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib. Hakikat keimanan adalah pembenaran yang total terhadap apa pun yang para Rasul kabarkan, yang meliputi ketundukan anggota tubuh. Perkara keimanan itu tidak hanya kepada hal-hal yang dapat diperoleh oleh panca indera semata, karena hal ini tidaklah mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir. Namun, perkara yang dianggap dalam keimanan kepada yang ghaib adalah yang tidak kita lihat dan tidak kita saksikan, tetapi kita hanya mengimaninya saja karena ada kabar dari Allah dan kabar dari Rasul-Nya.
Itulah keimanan yang mampu membedakan antara seorang Muslim dengan seorang kafir, karena itulah pembenaran yang utuh terhadap Allah dan Rasul-Nya. Maka seorang yang beriman adalah yang mengimani segala sesuatu yang Rasul-Nya kabarkan, baik yang dia saksikan ataupun tidak, baik dia mampu memahami dan masuk akalnya, ataupun akal dan pemahamannya tidak mampu mencernanya. Berbeda dengan orang-orang atheis yang mendustakan perkara-perkara ghaib, karena akal-akal mereka yang terbatas lagi lalai tidak sampai kepadanya. Akhirnya mereka mendustakan apa yang tidak mampu dipahami oleh ilmu mereka, yang pada akhirnya rusaklah akal-akal mereka, sia-sialah harapan mereka, dan (sebaliknya) bersihlah akal kaum Mukminin yang membenarkan lagi mengambil hidayah dengan petunjuk Allah.
Dan termasuk dalam keimanan kepada yang ghaib adalah keimanan kepada seluruh kabar yang Allah beritakan dari hal-hal ghaib yang terdahulu maupun yang akan datang. Kondisi-kondisi hari akhirat, hakikat sifat-sifat Allah dan bentuk-bentuknya, serta kabar yang Rasul-Nya sampaikan tentang semua itu; di mana mereka beriman kepada sifat-sifat Allah dan keberadaanya, dan mereka meyakininya walaupun mereka tidak mampu memahami cara dan bentuknya.
Kemudian Allah berfirman, “yang mendirikan shalat”. Dia tidak berfirman yang mengerjakan shalat, atau menjalankan shalat, karena sesungguhnya tidaklah cukup hanya sekedar menjalankan dengan bentuknya yang lahir saja. Mendirikan shalat yang ayat ini maksud adalah mendirikan shalat secara lahir dengan menyempurnakan rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan syarat-syaratnya, dan juga mendirikannya secara bathin dengan mendirikan ruhnya yaitu dengan menghadirkan hati padanya. Merenungi apa yang ia baca dan mengamalkannya.
Kemudian Allah berfirman, “dan menafkahkan sebagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka.” Termasuk di dalamnya nafkah-nafkah yang wajib, seperti zakat, nafkah atas istri, keluarga dan para budak dan sebagainya. Juga nafkah-nafkah yang dicintai dengan segala jalan kebaikan. Dan tidak disebutkannya hal–hal yang diinfakkan karena banyaknya sebab-sebabnya dan bermacam-macam penerimaanya, dan karena nafkah itu pada dasarnya adalah sebuah ibadah kepada kepada Allah.
Dia juga disebutkan dengan kata “dari” yang menunjukkan makna sebagian, demi untuk mengingatkan mereka bahwasanya Allah tidak menghendaki dari mereka kecuali sebagian kecil saja dari harta-harta mereka yang tidak akan memudaratkan mereka dan tidak akan pula memberatkan mereka. Bahkan mereka akan mengambil manfaat dari infak mereka tersebut, dan saudara-saudara mereka juga akan dapat mengambil manfaat darinya.
Dalam firman Allah, “rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka” terkandung sebuah isyarat bahwa yang ada di hadapanmu ini tidaklah diperoleh dari kekuatan dan kepemilikanmu, akan tetapi itu semua adalah rezeki Allah yang dianugerahkan kepada kalian dan diberikanNya nikmat itu atas kalian. Maka karena nikmat yang Allah berikan kepada kalian dan kemurahan-Nya terhadap kalian daripada banyak hamba-hamba-Nya yang lain. Maka, bersyukurlah kepada-Nya dengan mengeluarkan sebagian nikmat yang diberikan atas kalian tersebut, dan hiburlah saudara-saudara kalian yang tidak memilikinya.
Sangat banyak Allah menyandingkan shalat dengan zakat dalam Al-Qur’an. Sebab shalat itu mengandung keikhlasan hanya kepada Dzat yang disembah, sedangkan zakat dan nafkah mengandung berbuat baik kepada sesama hamba-hamba-Nya. Maka tanda dari kebahagiaan seorang hamba adalah keikhlasannya kepada Dzat yang disembah dan usahanya dalam memberikan manfaat kepada manusia, sebagaimana tanda kesengsaraan seorang hamba adalah tidak adanya kedua perkara tersebut pada dirinya. Tidak ada keikhlasan dan tidak pula perbuatan baik kepada sesama.
< Sebelumnya | Surat | Berikutnya > |
Al Baqarah ayat 2 | Al Baqarah | Al Baqarah ayat 4 |