Ada yang tak kalah membahagiakan daripada wisuda Magister PAI, September lalu. Pada hari yang sama, saya menemukan selembar kertas di belakang jok mobil.
Waktu itu kami berangkat ke Semarang sekeluarga. Salah satu tradisi keluarga, kami berusaha menghadiri momen penting bersama-sama. Meskipun harus izin kerja (sewaktu masih terikat jam kerja) atau harus memintakan izin untuk anak-anak ke sekolah atau pondoknya.
‘Wisuda’ sekolah juga begitu. Sepanjang bisa diusahakan, kami akan menghadiri bersama. Bahkan sering kali waktu mengambil raport juga bersama-sama. Maksudnya, saya dan istri berdua. Anak yang lain ya nggak perlu ikut kalau hanya ambil raport kakak atau adiknya.
Kertas itu milik Miqdad, anak kedua. Sepertinya tugas sekolah karena ada kop Al Uswah. Ada beberapa pertanyaan di lembar itu yang sudah ia jawab seluruhnya.
Salah satu pertanyaannya adalah “Siapa orang yang paling menginspirasi hidupmu selain Rasulullah?” Miqdad menulis dua jawaban. 1. Seorang tokoh internasional. 2. Ayah.
Saya terenyuh. Ada getaran lembut di jiwa yang membuat mata berkaca-kaca. Lalu berkelebatan kenangan bersamanya sejak masa kecil hingga kini tumbuh menjadi pelajar SMA.
Fatherless Country
Indonesia termasuk salah satu negara yang dikategorikan sebagai fatherless country. Bukan karena banyaknya anak lahir tanpa ayah seperti di Barat, tetapi karena banyaknya anak yang kehilangan kedekatan psikologis dengan ayah. Ayah ada, tapi tidak dekat. Tidak punya hubungan emosional yang melekat.
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2024 menemukan sekitar 15,9 juta anak di Indonesia hidup tanpa kehadiran ayah. Rinciannya, sebanyak 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sedangkan sisanya, sebanyak 11,5 juta anak hidup bersama ayah yang bekerja lebih dari 60 jam per pekan sehingga minim waktu berinteraksi dengan anak.
Kekurangan kasih sayang ayah membuat anak kehilangan panutan perilaku utama dalam berinteraksi sosial dan mengelola emosi. Akibatnya, anak terjerumus pada berbagai bentuk kenakalan, pergaulan bebas, hingga terjerat narkotika dan obat-obat terlarang.
Fatherless bukan hanya ditemukan pada keluarga awam. Keluarga aktivis dakwah juga tak luput dari fenomena ini. Ada yang akibatnya hanya tidak mau menjadi generasi penerus dakwah, ada pula yang sampai pada tingkatan yang sangat parah.
“Aku nggak mau seperti ortuku. Aktif dakwah sampai tidak ada waktu untukku. Penginnya nanti aku jadi orang biasa yang punya banyak waktu untuk anaknya,” kata seorang anak dai dan daiyah di sebuah kota.
Di kota lain, ada anak dai dan daiyah mengalami disorientasi seksual, menyukai sesama jenis. Setelah menyadari kondisi anaknya separah itu, orang tuanya menangis. Tidak perhatian ke anak dengan mengatasnamakan kesibukan dakwah ternyata bisa menimbulkan penyakit kronis.
Saya termasuk orang yang khawatir kalau anak-anak merasa tidak diperhatikan dan tidak dicintai. Khawatir kalau mereka tidak merasakan peran saya sebagai ayah yang seharusnya mendidik dan menginspirasi. Jawaban Miqdad sedikit melegakan hati, tetapi masih banyak PR bagi saya dalam taurits tarbawi.
Saya sangat salut dengan para ayah yang telah berhasil memastikan taurits tarbawi hingga anak-anaknya menjadi pelopor kebaikan di tengah masyarakat. Bahkan sejak kuliah atau lebih dini lagi sejak masih duduk di pesantren atau bangku sekolah.
Pahlawan Kesebelas
Dua hari yang lalu, Presiden Prabowo menetapkan 10 tokoh sebagai pahlawan nasional tahun ini. Meskipun namamu tidak termasuk di dalamnya, engkau adalah pahlawan, wahai para Ayah.
Pertama, untuk para ayah yang telah berhasil melakukan taurits tarbawi hingga anaknya menjadi pelopor kebaikan. Kedua, untuk para ayah yang telah berusaha melakukan taurits tarbawi hingga anaknya menjadi penggerak dakwah.
Ketiga, untuk para ayah yang telah mencurahkan segenap ikhtiar dan doanya, meluangkan waktu dan perhatiannya, pada buah hati tercinta. Kalaupun mereka belum menjadi penerus dakwah, minimal sudah berkomitmen dengan nilai-nilai Islam. Tumbuh dan berkembang menjadi pribadi hanif yang tidak menyimpang akibat haus kasih sayang.
Ayah, engkaulah para pahlawan, meskipun namamu tidak dicatat dalam lembaran sejarah. Karena yang paling penting adalah peranmu menjadi wasilah sampainya hidayah. Hingga kehidupan anak-anakmu diliputi berkah. Hingga anak-anakmu menjadi generasi penerus dakwah. Lalu engkau akan memanen amal jariyah. Pahalamu terus mengalir meskipun engkau sudah di alam barzah. Lalu engkau memetik ridha-Nya, reuni bersama anak-anak dan bahagia selamanya di surga. [Muchlisin BK/Tarbiyah]
