Beranda Materi Tarbiyah Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

Mencintai Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam

0
Rasmul bayan mencintai nabi - mahabbatur rasul

Mencintai Allah (mahabbatullah) tidak bisa dipisahkan dengan Mencintai Nabi (mahabbatur rasul) shallallahu ‘alaihi wasallam. Keduanya laksana dua sisi koin yang harus ada pada hati seorang mukmin.

Mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah asas utama tarbiyah ruhiyah dalam perjalanan seorang Muslim menuju kepribadian Rabbani. Cinta ini bukan hanya perasaan, tetapi ikatan yang menuntun hati, akal, dan amal untuk mengikuti manhaj yang Rasulullah bawa. Dalam tarbiyah, cinta kepada beliau menjadi sumber energi dakwah, penggerak kesungguhan beribadah, dan penopang kesabaran dalam perjuangan. Seorang yang mencintai Nabi akan menjadikan beliau sebagai uswah hasanah dalam seluruh aspek kehidupan, sehingga risalah beliau hadir nyata dalam perilaku, ucapan, dan akhlaknya.

Mencintai Rasulullah memiliki urgensi yang sangat penting karena merupakan bukti kesempurnaan iman. Dengan cinta ini seorang Muslim merasakan manisnya iman, terjaga kemurnian akidahnya, lurus ibadahnya, serta terbentuk akhlak mulia. Cinta kepada Nabi juga memberikan ketenangan jiwa, menyalakan optimisme perjuangan, mengundang keberkahan dalam langkah, serta membuka pintu syafa’at di akhirat.

Penguatan cinta kepada Nabi dilakukan melalui proses tarbiyah yang berkesinambungan. Antara lain dengan mempelajari sirah Nabawiyah untuk meneladani perjalanan risalah dan perjuangannya, mengamalkan sunah dalam kehidupan nyata, memperbanyak shalawat sebagai penghubung hati, mencintai apa dan siapa yang beliau cintai termasuk keluarga, sahabat, dan para pewaris dakwah, serta mencintai Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup. Dengan itu, Rasul tidak hanya dikagumi, tetapi diteladani; tidak hanya diingat dalam lisan, tetapi dihidupkan dalam perbuatan. Maka jadilah Rasul sebagai qudwah utama: Ar-Rasul Qudwatuna.

Makna Cinta kepada Nabi

Secara bahasa, istilah mahabbatur rasul (محبة الرسول) terdiri dari dua kata, yaitu mahabbah (محبة) dan ar-Rasul (الرسول). Secara etimologi (kebahasaan), mahabbah (cinta) memiliki beberapa arti dasar:

  • Kecenderungan dan kesenangan. Yakni kecenderungan hati kepada sesuatu yang menurutnya baik, indah, atau menyenangkan. Definisi ini berasal dari akar kata حَبَّ (habba) yang berarti menyukai, mencintai, atau menginginkan.
  • Kejernihan dan kemurnian. Yakni terkait dengan kata الحُبَاب (al-hubaab), yang berarti gelembung atau buih yang muncul saat air mendidih. Al-hubaab juga bermakna gejolak hati dan kemurnian perasaan. Karena buih atau gelembung yang naik ke permukaan sering dianggap sebagai bagian yang paling murni atau ringan dari cairan.
  • Stabil dan teguh. Yakni terkait dengan kata حَبَّة (habbah), yang berarti biji (inti), menunjukkan bahwa cinta adalah sesuatu yang mendasar, stabil, dan menjadi inti (pokok) dalam hati.
  • Mengutamakan dan mendahulukan. Mahabbah juga berarti pengutamaan sesuatu yang dicintai melebihi yang lainnya.

Rasul (رسول) adalah laki-laki yang Allah pilih, Allah beri wahyu, dan Allah wajibkan menyampaikan wahyu itu kepada umatnya. Jika menggunakan alif lam sehingga berbentuk makrifat menjadi ar-rasul (الرسول) maka maksudnya adalah Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sedangkan, pengertian mencintai rasul (mahabbatur rasul) atau mencintai nabi (mahabbatun nabi) secara istilah adalah sebagai berikut:

مَحَبَّةُ الرَّسُوْلِ هِيَ الْمَحَبَّةُ الْعَمِيقَةُ الصَّادِقَةُ لِلنَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَفُوْقُ كُلَّ مَحَبَّةٍ لِمَا سِوَاهُ مِنَ الْخَلْقِ الْمُقْتَرِنَةُ بِالْإِتِّبَاعِ وَالطَّاعَةِ لِسُنَّتِهِ وَشَرِيعَتِهِ

Mahabbatur Rasul adalah kecintaan yang mendalam dan tulus kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, melebihi segala cinta kepada makhluk selainnya, yang disertai dengan ittiba’ dan ketaatan terhadap sunah dan syariat beliau.

Baca juga: Mahabbatullah

Urgensi Cinta kepada Nabi

Mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (mahabbatur rasul) bukanlah sekadar ungkapan lisan atau penyataan verbal, melainkan perasaan mendalam yang bersumber dari hati terdalam lalu terealisir dalam amalan. Dalam jalan dakwah dan tarbiyah, kecintaan ini adalah energi penggerak dan penjaga konsistensi.

Mahabbatur rasul memiliki urgensi yang sangat besar sebab ia adalah bukti kesempurnaan iman yang membuat pelakunya merasakan manisnya iman. Cinta kepada Nabi yang benar juga menjamin kemurnian akidah, benar dalam beribadah, dan memiliki akhlak yang mulia.

1. Bukti kesempurnaan iman

Cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tolok ukur utama dan syarat mutlak bagi kesempurnaan iman seseorang. Tanpa cinta ini, pengakuan keimanan hanyalah pengakuan yang hampa. Seorang Muslim sejati harus menempatkan Rasul di atas segala-galanya, bahkan di atas dirinya sendiri.

Hal ini sebagaimana sabda beliau:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak (sempurna) iman salah seorang di antara kalian sampai aku lebih dicintai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Merasakan manisnya iman

Manisnya iman (halawatul iman) adalah kelezatan spiritual yang terasa di hati orang-orang beriman. Seperti manisnya buah hanya bisa dirasakan oleh orang yang sehat, demikian ibarat manisnya iman hanya dirasakan oleh orang yang hatinya sehat. Puncak dari kenikmatan spiritual ini hanya dapat dicapai ketika seseorang benar-benar mencintai Allah dan Rasul-Nya.

ثَلَاثٌ مَنْ كٌنَّ فِيْهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الِإيْمَانِ؛ أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سَوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ المَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا ِللهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ في النَّارِ

Tiga hal yang bisa membuat seseorang bisa merasakan manisnya keimanan: Mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain, mencintai seseorang karena Allah, dan benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci masuk neraka. (HR. Bukhari Muslim)

3. Menjamin kemurnian akidah

Cinta kepada Nabi mewajibkan kita untuk mengikuti beliau (ittiba’). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي

Katakanlah: “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku …” (QS. Ali Imran: 31)

Dalam aspek keyakinan, sepanjang kita mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, akidah kita akan terjaga dari kesyirikan. Sebab beliau sangat tegas dalam menjaga akidah umat.

Ketika keluar menuju Hunain, sebagian orang yang baru masuk Islam melihat Dzatu Anwath. Orang-orang musyrik mengeramatkan pohon itu dan menggantungkan senjata mereka di situ agar lebih sakti.

Orang-orang yang baru masuk Islam mengatakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzatu Anwath sebagaimana mereka punya Dzatu Anwath.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tegas menjawab:

سُبْحَانَ اللَّهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ مُوسَى (اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ) وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Maha suci Allah! Ini sebagaimana perkataan kaum Musa: “Jadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan.” (QS. al-A’raaf: 138). Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian.” (HR. Tirmidzi; shahih)

Mencintai Nabi dengan benar membuat kita berittiba’ kepada beliau termasuk dalam hal yang sangat mendasar yakni akidah sehingga akidah kita terjamin selamat (salimul aqidah).

4. Benar dalam beribadah

Mencintai beliau juga membuat kita mengikuti beliau dalam aspek ibadah. Sehingga ibadah kita menjadi ibadah yang benar (shahihul ibadah). Tentang shalat, beliau bersabda:

وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى

Dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. (HR. Bukhari)

Tentang haji, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ

Ambillah dariku tata cara manasik (haji) kalian. (HR. Muslim)

Baca juga: Doa

5. Akhlak yang kokoh (mulia)

Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia, dan beliau adalah uswah hasanah (teladan terbaik) dalam segala aspek moral. Mencintai beliau berarti meneladani setiap gerak-gerik dan perilakunya, yang menghasilkan akhlak yang kokoh (matinul khuluq) yakni akhlak mulia.

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad; shahih)

Bahkan Allah menyebut akhlak beliau adalah akhlak yang agung. Sebagaimana firman-Nya:

وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ

Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung. (QS. Al-Qalam: 4)

Syekah Fathi Yakan dalam bukunya Madza Ya’ni Intima’i lil Islam menjelaskan, “Akhlak mulia adalah bukti dan buah dari keimanan yang benar. Pernyataan iman tidak berarti apa-apa jika tidak melahirkan akhlak.”

Baca juga: Shalat Berjamaah

Pengaruh Cinta kepada Nabi bagi Seorang Muslim

Cinta yang tertanam kokoh kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan kekuatan spiritual yang menghasilkan dampak nyata dan konstruktif dalam kepribadian seorang Muslim. Dalam madrasah tarbiyah, cinta ini adalah sumber energi yang tak pernah habis, membentuk karakter individu yang kuat dan hati yang tenang.

Cinta yang diwujudkan melalui ittiba’ (mengikuti) sunnah dan ketaatan kepada syariat beliau akan memberikan empat pengaruh besar dalam kehidupan seorang Muslim:

1. Mendapatkan ketenangan jiwa

Di tengah badai fitnah dan hiruk pikuk kehidupan dunia, hati seorang Muslim yang mencintai Nabi akan menemukan dermaga ketenangan. Ketaatan kepada petunjuk beliau, yang merupakan implementasi dari ketaatan kepada Allah, secara otomatis menuntun hati pada kedamaian. Seorang yang meneladani Rasul dalam sabar, tawakal, dan muhasabah (introspeksi) akan terlindungi dari kecemasan dan kegelisahan.

Prinsip ini berakar pada ajaran Al-Qur’an bahwa ketenangan hakiki hanya bisa kita raih dengan kembali kepada sumber kebenaran:

الَّذِينَ آَمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. (QS. Ar-Ra’d: 28)

Mengingat Allah (berdzikir) secara luas mencakup ketaatan dan meneladani Rasul-Nya, karena beliau adalah jalan untuk mengenal dan menaati Allah.

2. Meraih optimisme

Jalan dakwah penuh dengan tantangan dan ujian. Tanpa optimisme yang kuat, seorang da’i mudah goyah. Cinta kepada Nabi menanamkan keyakinan bahwa ajaran beliau adalah kebenaran mutlak yang pasti akan menang. Sikap ini menolak keputusasaan (ya’s) dan pesimisme atau merasa sial (thiyarah), yang Islam telah melarangnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri adalah teladan optimisme (Al-Fa’lu) terbesar, bahkan ketika menghadapi kesulitan terberat, sebagaimana sabda beliau:

لاَ عَدْوَى ، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَيُعْجِبُنِى الْفَأْلُ. قَالُوا وَمَا الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ

Tidak ada ‘adwa (penularan penyakit tanpa izin Allah) dan tidak ada thiyarah (pesimisme/firasat buruk), dan aku menyukai al-fa’lu (optimisme).” Mereka bertanya: “Apa itu al-fa’lu?” Beliau menjawab: “Perkataan yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cinta kepada beliau mendorong kita untuk senantiasa berprasangka baik (husnuzhan) kepada Allah dan optimis akan pertolongan-Nya, mengikuti jejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Baca juga: Kejujuran

3. Memperoleh keberkahan

Keberkahan (barakah) adalah bertambahnya kebaikan dan manfaat dalam hidup, baik dalam waktu, harta, maupun amal. Ketaatan dan kecintaan total kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sumber keberkahan tertinggi, karena beliau adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam). Mengamalkan sunnah beliau, sekecil apa pun, akan mendatangkan berkah yang melipatgandakan dampak amal.

Prinsip ini terangkum dalam perintah Allah untuk menaati petunjuk yang dibawa oleh Rasul-Nya, yang akan mendatangkan kehidupan sejati yang penuh berkah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila dia menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu. (QS. Al-Anfal: 24)

Kehidupan yang ‘dihidupkan’ dengan sunah Nabi adalah kehidupan yang paling berkah.

4. Mendapatkan syafa’at

Puncak dari harapan seorang Muslim di hari Kiamat adalah mendapatkan Syafa’at Agung (Syafa’atul Uzma) dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kecintaan yang tulus, yang diwujudkan dalam ketaatan dan kesungguhan mengamalkan ajaran beliau, adalah penyebab utama teraihnya keutamaan ini.

Salah satu bentuk ketaatan yang secara eksplisit menjanjikan syafa’at adalah shalawat dan doa yang untuk beliau, terutama setelah adzan:

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيلَةَ وَالْفَضِيلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِى وَعَدْتَهُ ، حَلَّتْ لَهُ شَفَاعَتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa yang ketika mendengar adzan mengucapkan (yang artinya): ‘Ya Allah, Rabb seruan yang sempurna ini dan shalat yang akan didirikan, berikanlah kepada Muhammad Al-Wasilah (kedudukan tertinggi di surga) dan Al-Fadhilah (keutamaan), dan bangkitkanlah beliau di tempat yang terpuji (Maqam Mahmud) yang telah Engkau janjikan’, maka ia berhak mendapatkan syafa’atku pada Hari Kiamat. (HR. Bukhari)

Ini menunjukkan bahwa cinta yang diterjemahkan dalam amal dan doa menjadi kunci untuk mendapatkan pertolongan terpenting di hari yang paling genting.

Baca juga: Muraqabatullah

Cara Memperkuat Cinta kepada Nabi

Cinta kepada Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Mahabbatur Rasul) adalah ibadah hati yang paling mulia. Namun, cinta ini tidak boleh dibiarkan pasif; ia harus terus dipupuk, diperkuat, dan diwujudkan dalam aksi nyata. Dalam tarbiyah Islamiyah, penguatan cinta kepada Nabi adalah agenda utama yang memastikan konsistensi (istiqomah) seorang Muslim dalam ketaatan dan kesiapan berkorban di jalan dakwah.

Bagaimana seorang Muslim dapat memperkuat cinta yang menjadi pondasi keimanannya ini? Berikut adalah lima langkah praktis (amaliah) yang harus kita jalankan secara berkelanjutan:

1. Mempelajari Sirah Nabawiyah

Tak kenal maka tak sayang. Kita tidak akan mampu mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam secara mendalam kecuali setelah kita menyelami sejarah hidup (Sirah Nabawiyah) beliau secara komprehensif.

Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah, kita menyaksikan keteguhan beliau dalam menghadapi siksaan, kesabaran beliau dalam dakwah, kecerdasan kepemimpinan beliau, dan keagungan akhlak beliau. Ini akan memperkuat ikatan emosional dan spiritual kita kepada beliau sebagai teladan utama.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)

2. Mengamalkan sunnah-sunnahnya

Cinta sejati selalu menuntut pembuktian melalui ketaatan dan pengorbanan. Mengamalkan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bentuk nyata ketaatan yang merupakan bukti cinta. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي، عُضْوًا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ

Dan wajib atas kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk setelahku. Peganglah sunnah itu erat-erat dengan gigi geraham. (HR. Thabrani; shahih)

Syekh Yusuf Al-Qardhawi menjelaskan, sunnah adalah minhaj nabawi yang memerinci hal-hal global, memilah yang masih umum, dan membatasi yang masih luas dalam Al-Qur’an. Seandainya tidak ada sunnah, kita tidak akan bisa mengetahui hukum-hukum ibadah dan muamalah Islam.

“Sunnah memberikan gambaran praktis seluruh perilaku dan perjalanan hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,” tulis Al-Qardhawi dalam bukunya Madkhal Li Dirasah Asy-Syari’ah Al-Islamiyah.

3. Memperbanyak shalawat

Di antara tanda cinta adalah banyak menyebut (katsratudz dzikr) nama yang dicinta. Memperbanyak shalawat adalah bukti cinta sekaligus salah satu cara memperkuat cinta kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat bershalawat, kita menyebut nama Rasulullah dan menyampaikan salam kesejahteraan.

Luar biasanya, sebagaimana cinta itu membahagiakan, sholawat Nabi yang kita ucapkan akan kembali kepada kita dalam bentuk pahala dan ampunan. Dan balasan terbesarnya adalah syafaat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

أَوْلَى النَّاسِ بِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَكْثَرُهُمْ عَلَىَّ صَلاَةً

Orang yang paling berhak mendapatkan syafa’atku di hari kiamat adalah orang yang paling banyak bersholawat kepadaku. (HR. Tirmidzi; hasan lighairihi)

4. Mencintai apa dan siapa yang dicintai Nabi

Cinta kepada Nabi harus meluas hingga mencakup segala sesuatu yang beliau cintai, seperti keluarga dan sahabat yang mulia, serta seluruh kaum muslimin. Ini juga berarti mencintai kesucian Islam, mencintai keadilan, dan mencintai jihad fi sabilillah. Memelihara dan mencintai warisan beliau, seperti kota Madinah, juga merupakan bagian dari penguatan cinta ini.

Cinta kepada Anshar, misalnya, adalah tanda keimanan:

آيَةُ الإِيمَانِ حُبُّ الأَنْصَارِ وَآيَةُ النِّفَاقِ بُغْضُ الأَنْصَا

Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar. (HR. Bukhari dan Muslim)

5. Mencintai Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah mukjizat abadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan sumber utama ajaran Islam. Mencintai Al-Qur’an berarti membacanya, merenungi maknanya, dan menjadikannya pedoman hidup. Ini adalah cerminan dari penghormatan tertinggi kepada risalah yang Rasulullah bawa. Mustahil seseorang mengklaim mencintai Nabi tetapi mengabaikan warisan beliau yang paling berharga.

Bunda Aisyah radhiyallahu ‘anha menggambarkan akhlak beliau sebagai perwujudan Al-Qur’an:

كَانَ خُلُقُهُ القُرْآنَ

Akhlak beliau adalah Al-Qur’an. (HR. Muslim)

“Barang siapa ingin mengetahui akhlak Nabi Muhammad dalam kehidupannya, baik secara khusus maupun umum… hubungan beliau dengan Allah, pergaulannya dengan keluarga, para sahabat, bahkan musuhnya… hendaknya membaca mushaf Al-Qur’an,” tulis Syekh Yusuf Qardhawi dalam Kaifa Nata’amalu ma’a Al-Qur’ani Al-Azhim.

Ar-Rasul Qudwatuna

Seluruh rangkaian pembahasan mengenai Mahabbatur Rasul dari awal hingga akhir menegaskan satu hakikat sentral dalam kehidupan seorang Muslim dan dalam pergerakan dakwah Islamiyah: Ar-Rasul Qudwatuna (Rasul adalah Teladan Kita).

Urgensi mencintai Nabi—sebagai bukti kesempurnaan iman, sumber manisnya iman, dan penjamin kemurnian akidah—membentuk landasan teologis yang tak tergoyahkan. Kecintaan ini kemudian membuahkan pengaruh yang nyata dan transformatif, memberikan ketenangan jiwa di tengah berbagai tantangan kehidupan, membangkitkan optimisme juang di medan dakwah, menjamin keberkahan dalam setiap amal, dan puncaknya adalah harapan meraih syafa’at di akhirat.

Untuk mencapai buah manis ini, cinta kepada beliau harus diperjuangkan. Jalan praktisnya adalah melalui tarbiyah yang terstruktur: mempelajari Sirah Nabawiyah agar kita mengenal kedalaman karakter beliau, mengamalkan sunah-sunahnya sebagai bukti ketaatan sejati, memperbanyak shalawat sebagai ikatan spiritual, serta mencintai Al-Qur’an dan semua yang beliau cintai sebagai perluasan mahabbah.

Dengan demikian, cinta kepada Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam adalah sebuah sistem kehidupan yang utuh. Ia adalah sumber akhlak yang kokoh, motivator ibadah yang benar, dan kunci untuk meneladani beliau secara menyeluruh—baik sebagai individu, da’i, maupun pemimpin umat. Mari kita tegakkan kehidupan kita dan perjuangan dakwah kita di atas kecintaan sejati ini, karena hanya dengan menjadikan Ar-Rasul Qudwatuna kita dapat meraih kemenangan dunia dan kebahagiaan akhirat. []