Beranda Materi Tarbiyah Mahabbatullah

Mahabbatullah

0
Rasmul bayan mahabbatullah

Cinta akan menentukan arah hidup manusia. Orang yang mencintai dunia akan memfokuskan hidupnya mengejar dunia. Mungkin ia mendapatkan apa yang ia kejar. Namun, cinta dunia membuat hatinya tidak bahagia dan di akhirat akan celaka. Karenanya kita perlu menumbuhkan dan menguatkan mahabbatullah.

مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا

Siapa yang menghendaki kehidupan sekarang (duniawi) Kami segerakan baginya di (dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi siapa yang Kami kehendaki. Kemudian, Kami sediakan baginya (neraka) Jahanam. Dia akan memasukinya dalam keadaan tercela lagi terusir (dari rahmat Allah). (QS. Al-Isra’: 18)

Makna Mahabbatullah

Secara bahasa, istilah mahabbatullah (محبة الله) terdiri dari dua kata, yaitu mahabbah (محبة) dan Allah (الله). Secara etimologi (kebahasaan), mahabbah (cinta) memiliki beberapa arti dasar:

  • Kecenderungan dan Kesenangan. Yakni kecenderungan hati kepada sesuatu yang menurutnya baik, indah, atau menyenangkan. Definisi ini berasal dari akar kata حَبَّ (habba) yang berarti menyukai, mencintai, atau menginginkan.
  • Kejernihan dan Kemurnian. Yakni terkait dengan kata الحُبَاب (al-hubaab), yang berarti gelembung atau buih yang muncul saat air mendidih. Al-hubaab juga menyiratkan gejolak hati dan kemurnian perasaan. Karena buih atau gelembung yang naik ke permukaan sering dianggap sebagai bagian yang paling murni atau ringan dari cairan.
  • Stabil dan Teguh. Yakni terkait dengan kata حَبَّة (habbah), yang berarti biji (inti), menunjukkan bahwa cinta adalah sesuatu yang mendasar, stabil, dan menjadi inti (pokok) dalam hati.
  • Mengutamakan dan Mendahulukan. Mahabbah juga berarti pengutamaan sesuatu yang dicintai di atas yang lainnya.

Dengan demikian, secara bahasa, mahabbah adalah perasaan mendalam berupa kecenderungan dan kerinduan hati terhadap sesuatu yang menurutnya sempurna, indah, dan membawa kesenangan, serta mengutamakan hal tersebut.

Sedangkan kata Allah (الله) adalah Isim Jalalah (Nama Keagungan) dari nama Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta, dan satu-satunya Ilah yang punya hak untuk manusia sembah.

Dengan demikian, secara istilah:

مَحَبَّةُ اللَّهِ هِيَ المَحَبَّةُ العَمِيقَةُ الصَّادِقَةُ الكَامِلَةُ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، تَفُوقُ كُلَّ مَحَبَّةٍ لِغَيْرِهِ

Mahabbatullah adalah kecintaan yang mendalam, tulus, dan total kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, melebihi segala cinta kepada selain-Nya.

Syekh Dr. Yusuf Al-Qaradawi menempatkan mahabbatullah sebagai tujuan utama seorang Muslim dalam berinteraksi dengan dunia dan akhirat.  

“Tujuan akhir hidup adalah mahabbatullah, bertaqarrub dan menjalin hubungan baik dengan-Nya, tidak menghendaki sesuatu kecuali ridha-Nya dan balasan (pahala)-Nya. Tidak senang atau benci kecuali karena Allah, tidak memberi dan tidak menolak kecuali karena Allah,” terang Syekh Yusuf Qardhawi.

Urgensi Mahabbatullah

Mahabbatullah bukan hanya sekadar emosi spiritual yang indah, melainkan inti dari seluruh bangunan keislaman seorang hamba. Ia adalah ruh yang menghidupkan ibadah, motivasi yang menggerakkan perjuangan, dan satu-satunya bekal yang memastikan keselamatan abadi.

Para ulama menegaskan bahwa urgensi mahabbatullah terlihat jelas pada tiga pilar utama kehidupan seorang Muslim: kesempurnaan iman, dorongan ketaatan, dan kunci meraih ridha Ilahi.

1. Syarat kesempurnaan iman

Mahabbatullah adalah tiang yang menopang keimanan seseorang. Iman tidak akan mencapai derajat kesempurnaan dan kemanisan hakiki kecuali jika hati telah kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya menjadi pondasi dalam jiwa.

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tak sempurna iman seseorang hingga Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari pada selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cinta ini menuntut adanya pengutamaan mutlak. Ketika terjadi pertentangan antara panggilan Allah dengan panggilan dunia, hati yang dipenuhi mahabbatullah akan tanpa ragu memilih yang pertama. Sebagaimana Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mengatakan: “Cinta kepada Allah adalah sebuah cahaya terang… yang mana jika kamu tanpanya, maka kamu akan berada dalam lautan kegelapan.”

2. Pendorong ketaatan

Mahabbatullah adalah sumber energi spiritual yang tak pernah habis. Hati yang mencintai Allah dengan tulus akan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya bukan karena keterpaksaan, melainkan karena rindu dan ingin menyenangkan Sang Kekasih.

Bagi mereka yang berjuang di jalan dakwah, cinta kepada Allah adalah motor penggerak. Imam Hasan Al-Banna menegaskan bahwa cinta adalah fondasi utama: “Sesungguhnya pondasi dakwah kita adalah cinta dan saling mengenal (mahabbah dan ta’aruf).”

Dalam konteks ini, mahabbatullah melahirkan ukhuwah (persaudaraan) di antara para pengikut-Nya dan memberikan kekuatan tak terbatas untuk menghadapi kesulitan. Ketaatan menjadi ringan, pengorbanan menjadi mudah, dan jihad di jalan-Nya adalah puncak kerinduan, sebab hati yang penuh cinta akan selalu ringan melaksanakan perintah, seberat apa pun perintah itu.

3. Jalan menuju ridha Allah

Urgensi tertinggi mahabbatullah adalah bahwa ia merupakan satu-satunya jalan untuk meraih cinta timbal balik dari Allah itu sendiri. Kita mencintai Allah, agar Allah mencintai kita.

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ

“Katakanlah: Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian…” (QS. Ali Imran: 31)

Ayat ini dikenal sebagaiAyat Ujian Cinta (Ayatul Mihnah). Ia menetapkan bahwa bukti cinta sejati adalah ittiba’ (mengikuti) sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hanya melalui ketaatan inilah, seorang hamba dapat mencapai tingkatan dicintai oleh Allah (Mahabbatul Ilahiyah).

Pengaruh Mahabbatullah

Cinta kepada Allah adalah sumber daya spiritual terkuat yang mengalir dalam hati seorang Muslim. Ia bukan sekadar teori keimanan yang tersimpan di dalam dada, tetapi sebuah energi transformatif yang mengubah mindset, perilaku, dan kualitas amal. Ketika hati telah terpaut erat pada Sang Khaliq, pengaruhnya akan terasa nyata dalam empat dimensi utama kehidupan.

1. Ketaatan penuh khusyu’

Cinta mengubah makna ibadah. Bagi seorang yang hatinya penuh mahabbatullah, ibadah tidak lagi menjadi beban atau keterpaksaan, melainkan sebagai kerinduan seorang hamba untuk bertemu dan berkomunikasi dengan Rabb-nya. Shalat menjadi mi’raj (kenaikan spiritual), dan puasa menjadi momen introspeksi yang nikmat.

Rasa cinta mendalam membuat seorang Muslim berlomba-lomba dalam kebaikan tanpa merasa terbebani oleh banyaknya tugas dakwah atau ibadah. Mereka mencari dan menemukan waktu luang untuk beribadah karena dorongan cinta, bukan tekanan.

2. Kesabaran dalam ujian

Di antara dampak besar mahabbatullah adalah kemampuan hati untuk menerima takdir, baik takdir yang menyenangkan maupun yang menyakitkan. Seorang mukmin yang mencintai Allah menyadari bahwa setiap takdir adalah bentuk kasih sayang-Nya, dan setiap ujian adalah ujian cinta.

Seorang mukmin yang mencintai Allah swt. menyadari bahwa setiap takdir adalah bentuk kasih sayang-Nya.

قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Katakanlah (Muhammad): “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (QS. At-Taubah: 51)

Cinta kepada Al-Maulā (Pelindung) menumbuhkan ketenangan total (tawakkal). Dr. Yusuf Al-Qaradawi menyebutkan bahwa cinta ini membebaskan dari kegelisahan duniawi: “Tidak senang atau benci kecuali karena Allah, tidak memberi dan tidak menolak kecuali karena Allah.”

3. Zuhud terhadap dunia

Mencintai Allah adalah pembebasan sejati. Ia membebaskan hati dari perbudakan harta, jabatan, dan gemerlap dunia. Rasa cukup (qanaah) akan bersemi karena hati telah menemukan kekayaan yang hakiki: hubungan dengan Allah.

كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ

“Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari)

Cinta kepada Allah membuat dunia terlihat sebagai sekadar jembatan, bukan tujuan. Hal ini sejalan dengan pandangan Dr. Yusuf Al-Qaradawi yang memandang dunia sebagai wahana (media) dan bukan sasaran. Ketika Allah menjadi tujuan utama, nilai-nilai dunia akan tereduksi sebatas kebutuhan.

4. Akhlak mulia

Cinta kepada Allah  secara otomatis akan menumbuhkan akhlak mulia (al-akhlaq al-karimah). Mustahil seseorang mengklaim mencintai Sang Maha Sempurna sementara ia berbuat zalim, curang, atau kasar terhadap sesama ciptaan-Nya.

وَأَحْسِنُوا ۛ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Baqarah: 195)

Cinta kepada Allah akan memancarkan kelembutan hati, kasih sayang, kejujuran, dan keadilan dalam interaksi sosial. Imam Hasan Al-Banna menjadikan akhlak sebagai bagian integral dari kekuatan dakwah, ia berkata: “Perbaikilah yang tersisa bagimu, maka Allah akan mengampuni atas apa yang telah lalu.”

Sarana Memperkuat Mahabbatullah

Mahabbatullah adalah pilar keimanan yang harus kita pelihara. Para ulama mengajarkan bahwa ada langkah-langkah praktis yang jika kita lakukan secara konsisten, akan menumbuhkan, menyuburkan, dan mengokohkan cinta Allah di dalam hati seorang Muslim.

1. Mengenal Allah Melalui Asma’ul Husna dan Sifat-Nya

Cinta lahir dari pengenalan. Mustahil mencintai Dzat yang tidak kita kenal. Mengenal Allah melalui Asmaul Husna (nama-nama yang indah) dan sifat-sifat-Nya adalah jalan utama untuk membuka pintu mahabbatullah. Semakin seorang hamba merenungi makna nama-nama seperti Ar-Rahman (Maha Pengasih), Al-Ghafur (Maha Pengampun), dan Al-Wadud (Maha Mencintai), semakin ia sadar betapa sempurna dan agungnya Dzat yang ia cintai.

2. Merenungi Ayat-ayat Al-Qur’an dan Ciptaan Allah di Alam Semesta

Al-Qur’an adalah surat cinta dari Allah kepada hamba-Nya, sementara alam semesta adalah manifestasi karya agung-Nya. Merenungi keduanya akan memperkuat kecintaan.

Allah berfirman mengenai pentingnya tafakur:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)

Merenungi betapa teraturnya ciptaan-Nya (penciptaan langit, bumi, dan pergantian siang malam) akan menyadarkan hamba akan kekuasaan, kebijaksanaan, dan keindahan Allah, sehingga cinta pun semakin kokoh.

3. Memperbanyak Dzikir, Doa, dan Munajat

Dzikir adalah makanan bagi ruh, sedangkan doa dan munajat adalah bentuk komunikasi intim dengan Sang Kekasih. Hubungan cinta akan menjadi layu tanpa komunikasi.

Allah berfirman dalam hadits Qudsi:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى ، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِى ، فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى ، وَإِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلأٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلأٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ

“Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya apabila ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku; jika ia mengingat-Ku dalam keramaian, Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih baik dari mereka…” (HR. Bukhari)

4. Menambah Ibadah Sunnah Setelah Kewajiban

Ibadah wajib adalah bukti ketaatan, sementara ibadah sunnah adalah bukti cinta. Melalui amalan sunnah, seorang hamba berusaha mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah.

Allah berfirman dalam hadits Qudsi:

مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ

“Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nawafil (sunnah) hingga Aku pun mencintainya.” (HR. Bukhari)

Imam Hasan Al-Banna menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan waktu untuk amal kebaikan sebagai ekspresi dari kewajiban yang didorong cinta. Menambah sunnah berarti menunjukkan inisiatif dan kerelaan hati yang melampaui batas minimum.

5. Menghadiri Majelis Ilmu dan Tarbiyah

Majelis ilmu dan tarbiyah adalah tempat hati disirami dengan pengetahuan tentang Allah dan Rasul-Nya. Di tempat inilah Mahabbatullah dibahas, dipahami, dan dipraktikkan. Sayyid Qutb menegaskan bahwa kecintaan sejati harus diwujudkan dalam gerakan nyata:

“Ketahuilah, bahwa cinta kepada Allah harus diwujudkan dalam bentuk mengikuti tuntunan Rasulullah, niscaya Allah mengasihi kalian.”

Majelis tarbiyah menjadi sarana kolektif untuk memastikan bahwa cinta tersebut berbuah ketaatan yang terorganisir dan terarah.

6. Bersahabat dengan Orang-orang Saleh

Lingkungan memiliki peran besar dalam memelihara mahabbatullah. Bersahabat dengan orang-orang saleh, yang hidupnya termotivasi oleh cinta Allah, akan menjaga semangat Mahabbatullah tetap menyala.

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ

“Seseorang berada di atas agama temannya, maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

7. Menjauhi Dosa dan Maksiat

Dosa adalah penghalang terbesar antara hamba dan Rabb-nya. Setiap maksiat adalah tirai yang menggelapkan hati dan memadamkan cahaya Mahabbatullah. Menjauhi dosa adalah bukti kejujuran cinta, karena seorang pecinta sejati akan menjauhi segala sesuatu yang dibenci oleh Dzat yang dicintainya.

Dr. Yusuf Al-Qaradawi menekankan bahwa cinta kepada Allah harus mengalahkan hawa nafsu: “Mahabbah kepada Allah harus diprioritaskan dibandingkan mahabbah terhadap diri sendiri, ketika anda diliputi hawa nafsu, dan berupaya menuju Mahabbah-Nya, walaupun jalan terjal menghadang.”

Dengan menjalankan sarana-sarana ini secara istiqamah, seorang Muslim akan menemukan bahwa mahabbatullah bukanlah tujuan yang mustahil, melainkan sebuah hadiah agung yang Allah berikan kepada hati yang sungguh-sungguh berusaha mendekat kepada-Nya.

Allah Ghayatuna

Dari mahabbatullah lahir kesetiaan, komitmen, dan keberanian untuk menjadikan Allah ghayatuna (Allah tujuan kami) sebagai orientasi hidup.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang mencintai-Nya. Menjadikan Allah ghayatuna sebagai orientasi hidup bahwa hanya Allah yang menjadi tujuan kita. Dan semoga dengan berusaha mencintai Allah, Allah-pun akan mencintai kita. []